Cat-1

Cat-2

Cat-3

Cat-4

April 2016

Oleh Ridwan Hd.

Ilustrasi dari Film Soekarno (2013)

Usianya 18 tahun. Impian terbesar pemuda pribumi itu adalah bisa memiliki gadis Belanda yang bernama Mien Hessels. “Aku mendambakannya dengan penuh gairah dan aku sampai pada kesimpulan, aku harus mengawininya.” kata Soekarno dalam otobiografinya pada Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.

Soekarno muda, atau biasa dipanggil Koesno, mudah sekali tergila-gila dengan gadis Belanda yang cantik-cantik. Selama menempuh pendidikan HBS di Surabaya, kerapkali ia menjalin hubungan asmara dengan gadis-gadis asal negeri penjajah itu. “Hanya inilah satu-satunya cara yang kuketahui untuk menunjukkan keungguanku terhadap bangsa kulit putih dan membinkin mereka tunduk pada keinginanku.” alasannya. Tapi di kalimat lain, ia juga berkata, ”Menaklukan seorang gadis kulit putih dan membuatnya tergila-gila padaku adalah soal kebanggaan.”

Koesno juga menyebutkan nama-nama gadis yang pernah berhubungan asmara dengannya. Ada Pauline Gobee, anak salah seorang gurunya. Juga ada Laura, serta putri-putri cantik keluarga Raat. Mereka semua adalah idaman Koesno. Tapi, sejak berkenalan dengan Mien Hessels, gadis-gadis sebelumnya hilang dari kehidupannya. Ia begitu mabuk cinta kepada gadis yang disebut Koesno, “bunga tulip berambut kuning  dan berpipi merah muda”. “Aku rela mati untuknya bisa dia menginginkannya.” katanya.

Tekad untuk mendapatkan Mien Hessels ia nekatkan diri menghadap ayahnya. Dengan berpakaian yang rapi dan paling bagus ia menuju rumah keluarga Mien Hessels sambil gemetar ketakutan. Setiap bertamu, baru kali ini ia merasa gemetar. Lalu ia melangkah ke rumah Belanda yang bagus itu.

“Tuan” ucap koesno ketika sudah berhadapan dengan Ayah Mien Hessels dengan tatapan yang tajam, “Kalay tuan tidak berkeberatan, aku bermaksud meminta putri tuan untuk kuajak hidup dalam suatu ikatan perkawanianan...”

“Kamu? Inlander kotor seperti kamu?” kata tuan Hessels sambil meludah, “Berani-beraninya kamu mendekati anakku. Keluar, kamu binatang kotor. Keluar!”

Kata-kata kasar Ayah Mien Hessels membuat Koesno sangat terpukul. “Perihnya terasa sedemikian hebat, sehingga saat itu aku berpikir: Ya Tuhan, aku tak akan dapat melupakan ini.”

23 tahun kemudian, atau tepatnya di tahun 1942, Soekarno sedang melihat-lihat etalase toko di jalanan kota Jakarta. Tiba-tiba ada yang memanggilnya, “Soekarno?”

“Ia aku Soekarno,” balasnya dari panggilan itu sambil melihat perempuan yang tak dikenal. Perempuan itu tertawa terkekeh-kekeh, “Dapatkah kau menebak siapa aku?” kata si perempuan.

Yang dipandang Soekarno adalah seorang nyonya tua dan gemuk. Jelek, tubuhnya tak terurus. Soekarno lalu menjawab, “Tidak nyonya, tidak dapat. Siapa Anda?”

“Mien Hessels,” dia terkekeh lagi.

“Huhhh! Mien Hessels!” kata Soekarno yang diceritakan di buku otobiografinya itu, “Ratuku yang cantik seperti bidadari itu sudah berubah menjadi perempuan sihir. Kau tak pernah melihat perempuan tua yang jelek dan kumuh seperti ini. Mengapa dia membiarkan dirinya sampai begitu. Dengan cept aku memberi salam kepadanya, dan terus berjalan sambil mengucapkan syukur dan memuji Tuhan Yang Maha Penyayang karena telah melindungiku. Caci maki yang telah terlontarkan  ayahnya dulu sesungguhnya adalah rahmat yang terselubung bagiku. Kalau dipikir-pikir, dulu aku telah tertambat pada perempuan ini. Aku bersyukur kepada Tuhan atas perlindungan yang telah diberikan-Nya.”


Kebiasanya masa remajanya terbawa hingga dewasa. Ia begitu mudah tertambat wanita cantik. Presiden pertama kita ini memang dikenal melakukan beberapa kali pernikahan. Hingga akhir hayat, tercatat Soekarno memiliki 9 istri.
Oleh Salim A. Fillah


“..Kabar-kabar tentang Paduka telah sampai pada kami bersinar bagai permata. Tetapkanlah hati. Paduka akan beruntung jika Paduka bekerja semata karena takwa pada Allah. Janganlah takut akan kemalangan dan jauhilah segala perbuatan jahat. Jika orang melakukan yang demikian, akan dia temukan surga tanpa awan dan bumi tanpa kotoran..”
Surakarta, 1772.

Tiga surat berbahasa Arab beserta bendera bertulis “La ilaha illallah” yang diserahkan Patih Kasunanan, Raden Adipati Sasradiningrat itu menggemparkan kediaman Residen F.C. Van Straalendorff. Salinan terjemah dari salah satu nawala yang kemudian dikirim ke Batavia bahkan membuat Gubernur Jenderal VOC, Petrus Albertus van der Parra (1761-1775) sukar tidur, meski Sasradiningrat bersumpah bahwa tak seorang Jawapun yang telah membaca surat itu selain dia dan carik(sekretaris)-nya.

Penulis surat itu tinggal nun jauh di Makkah. Namanya Syaikh ‘Abdushshamad Al Jawi Al Falimbani (1704-1789), seorang ‘ulama besar di Masjidil Haram kelahiran Palembang, penulis berbagai kitab dan yang terpenting untuk disebut di sini di antaranya berjudul Nashihatul Muslimin wa Tadzkiratul Mu’minin fi Fadhailil Jihadi wa Karamatil Mujahidin (Nasehat orang-orang muslim dan pengingat orang-orang mukmin tentang keutaman jihad dan kemulian para mujahid).

Alamat yang dituju adalah tiga anggota Wangsa Mataram yang paling berkuasa di Jawa; Kangjeng Sultan Hamengkubuwana I (1755-1792) di Yogyakarta, Sri Susuhunan Pakubuwana III (1749-1788) di Surakarta, dan Pangeran Miji Mangkunegara (1757-1795).

Yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Jawa oleh Carik Kertabasa adalah surat untuk Mangkunegara, yang lalu dialih makna ke Bahasa Belanda untuk dikirim pada Gubernur Jenderal. Sejarawan Merle C. Ricklefs dalam karyanya, Yogyakarta Under Sultan Mangkubumi 1749-1792, menduga bahwa surat untuk Mangkunegara inilah yang paling menghasut, mengingat Sang Pangeran “angkuh dan mudah berkelahi” serta “lebih cenderung menggunakan kekerasan” karena “milik yang dipertaruhkannya paling kecil dan berharap mendapat lebih besar jika terjadi pergolakan”.

Tapi patut pula diduga, surat untuk Susuhunan Surakarta, dan terutama Sultan Yogyakarta yang pernah membuat VOC berdarah-darah dalam Perang Palihan Nagari (1746-1755) tak kalah seru isinya. Bahkan konon surat untuk Sultan disertai hadiah air zam-zam sebagaimana dahulu moyangnya Sultan Agung (1613-1645) menerimanya dalam Enceh Kyai Mendung dari Sultan ‘Utsmani, Murad IV (1623-1640) dan Syarif Makkah, Zaid ibn Muhsin Al Hasyimi (1631-1666). Tentu saja, atas perintah Batavia semua surat itu segera dihancurkan agar tak bocor isinya.

“..dan karena Paduka adalah keturunan Raja-raja Mataram yang dianugerahi berkat Allah dan RasulNya. Maka keadilan Paduka sudah diketahui di  mana-mana. Lagi pula sudilah hendaknya Paduka membaca ayat-ayat Al Quran yang berbunyi: ‘Sedikit orang dapat mengalahkan kekuatan besar.’

Lagi pula sudilah hendaknya Paduka mempertimbangkan bahwa dalam Quran tertulis ayat-ayat yang menyatakan: ‘Bila seseorang mati dalam Perang Sabil, janganlah kalian katakan dia mati.’ Karena Allah telah berfirman bahwa jiwa orang itu masuk ke dalam badan seekor burung yang langsung membawanya ke surga.

Dan haruslah lebih-lebih Paduka camkan, karena jiwa yang mati dalam Perang Sabil adalah bagai bunga yang harumnya tercium dari fajar sampai petang. Ya, bahkan semua Makkah dan Madinah, beserta seluruh negeri Melayu, takjub akan keharumannya..”

Dalam kutipan singkat kita membaca, betapa luar biasa perhatian Syaikh ‘Abdushshamad yang ayahnya menjadi Mufti Kesultanan Kedah ini terhadap perkembangan Nusantara dan bagaimana pemahamannya akan kewajiban ‘Ulama untuk menasehati Umara’, menegakkan amar ma’ruf-nahi munkar, serta mengobarkan jihad di Nusantara melawan kekuatan penjajah kafir.

Betapapun surat-surat ini keburu dicegat oleh Patih Surakarta yang amat setia kepada VOC dan gagal sampai pada tujuannya, tulisan kami ini hendak memberi penghargaan kepada kurir yang telah membawanya menantang bahaya, terombang-ambing di lautan dari Jeddah ke Aden ke Mascat ke Gujarat ke Sailan ke Penang ke Palembang ke Batavia ke Semarang hingga sampai di ibukota Kasunanan.

Dokumen Belanda dari salinan surat menyebut nama Haji Besari dan Haji Muhammad Idris.
Kematian Haji Besari di Surakarta sebelum sempat menyerahkan ketiga surat inilah yang menjadikan Patih Sasradiningrat berhasil ‘mengamankannya’. Adapun nasib Haji Muhammad Idris yang kemudian diburu oleh pasukan Sang Patih tidak jelas. Kabar burung menyebut dia berlindung ke wilayah Kasultanan Yogyakarta.

Inilah salah satu peristiwa mula-mula yang membuat pemerintahan VOC menyadari; mereka yang pulang dari Makkah dengan membawa gelar Haji adalah manusia berbahaya. Bahaya bagi penjajahan. Bahaya bagi penindasan. Bahaya bagi keterpecahan, keterbelakangan, dan kebodohan.

Sebab mereka yang pulang dari menunaikan rukun Islam kelima ini pastilah kuat secara sosial ekonomi, dan tentu saja beriman, tangguh fisiknya, lagi bernyali; terbukti mampu mengarungi perjalanan pergi pulang yang sukar dan berbahaya. Pun di Tanah Suci mereka pasti mendapatkan wawasan internasional, ilmu agama yang kian dalam, serta menyelami persaudaraan muslimin sedunia. Memandang keluar membaca bentang dunia luas, serta merenung ke dalam memikirkan diri dan bangsanya, jiwa-jiwa imani itu pasti akan membawa pulang nyala api perjuangan untuk tanah airnya.

Serentetan peristiwa di abad selanjutnya semakin membuat pemerintah jajahan yakin, para haji adalah manusia berbahaya. Di Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwana I dengan pemurah terus mengirimkan para pengulu, kaum, kyai, dan santri perdikan untuk berhaji. Menurut Ricklefs, pada 1776 dan 1781 Sultan memberangkatkan rombongan haji. Bahkan pada 1785, sekelompok ‘ulama ditugaskan menerima gelar resmi Sultan untuk Hamengkubuwana I dari Syarif Makkah, disertai pembangunan Gedung Wakaf Mataram di dekat Masjidil Haram yang akan terus menjadi tempat tinggal para mukimin Jawa di Makkah hingga masa Hamengkubuwana VIII.

Masjid-masjid Pathok Negara-nya di Dongkelan, Babadan, Plasakuning, dan terutama Mlangi yang dipimpin putranya sendiri, Raden Mas Sandiya bergelar Kyai Nur Iman, menjadi pusat-pusat keislaman yang menarik kehadiran kaum santri. Di abad baru, Tegalreja yang dikelola permaisurinya yakni Ratu Ageng sembari mengasuh Diponegoro kecil menambah daftar pusat syiar. Di tempat-tempat inilah para calon haji biasanya bermukim beberapa bulan untuk mempersiapkan diri dan ilmu sebelum diberangkatkan.

Peter Carey dalam The Power of The Prophecy mencatat nama Haji Badaruddin, panglima pasukan santri Suronatan yang sampai dua kali berhaji. Ada pula Pengulu Keraton Pekih Ibrahim, Ketib Muhamad Bahwi, Nur Samsi, Amad Ripangi, Abdullatip, Amad Anom, Ngarpani, Amad Ngali, Amad Ngijan, Amad Masam, Amad Sangi, Nitirejo, Resomenggala, dan Kyai Pengulu Rahmanudin.

Di Surakarta, Susuhunan Pakubuwana IV (1788-1820) lebih masyhur lagi sebagai ‘sahabat kaum santri’. Pada 1812, demikian dilaporkan kepada Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stanford Raffles, seperti dikutip Carey, Susuhunan punya 24 Haji Keraton dan 51 Kyai yang digajinya secara pribadi. Adik beliau, Pangeran Buminata, terkenal akan kedermawanannya pada kaum ‘ulama termasuk kepada Kyai Taptajani, juga Kyai Maja beserta saudara-saudaranya; Kyai Kasan Besari, Kyai Baderan, dan Kyai Pulukadang.

Jejaring komunitas haji, kyai, pengulu, dan santri inilah, baik yang ada di Kasultanan maupun Kasunanan, demikian disimpulkan dari Peter Carey, akan menjadi tulang punggung perlawanan dahsyat Pangeran Diponegoro kepada Pemerintah kolonial Belanda (1825-1830). Dalam daftar yang dia susun dari Babad Diponegoro Manado, Carey mencantumkan lebih dari 120 haji yang kemungkinan besar hadir di Selarong saat pembai’atan Diponegoro sebagai Sultan ‘Abdul Hamid Herucakra Kabirul Mukminin Khalifatu Rasulillah Ratu Paneteg Panatagama. Beserta mereka, demikian dicatat Saleh As’ad Djamhari dalam Strategi Menjinakkan Diponegoro, ada lebih dari 15 Syeikh, puluhan Kyai besar dan Pengulu, serta ratusan Kyai desa.

Sekali lagi, para haji adalah manusia-manusia berbahaya. Bersama Diponegoro mereka menguras 20 Juta Gulden kas penjajah, serta menewaskan 15.000 pasukan Belanda.

Tentu saudara-saudara mereka di Sumatera tak kalah greget. Tiga nama jamhur; Haji Miskin dari Pandai Sikat, Haji Sumanik dari VIII Kota, dan Haji Piobang dari Tanah Datar sebagai cikal bakal Gerakan Padri telah amat masyhur. Perubahan yang mereka bawa, dari memurnikan pengamalan agama di Minangkabau hingga perang besar melawan tentara kolonial Belanda, 1803-1838, amat nyata.

Abad selanjutnya mencatat nama Haji Ahmad Dahlan yang mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah, Haji Hasyim Asy’ari yang membidani Jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama, Haji Rasul dengan Sumatera Tawalib, dan jejaring jama’ah haji yang menjadi murid-murid Syaikh Ahmad Khatib Al Minankabawy di Makkah. Semua haji itu pulang membawa bahaya. Bahaya bagi penjajahan. Bahaya bagi penindasan. Bahaya bagi keterpecahan, keterbelakangan, dan kebodohan.

Jemaah haji menjalani pemeriksaan oleh petugas Belanda (Gambar: vivanews)
Para haji yang kembali ke tanah air itu hampir semuanya bergerak aktif dalam bidang kemasyarakatan, pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi, pengajaran agama, penyadaran kebangsaan, serta penguatan persatuan dan ukhuwah islamiyah.

Menurut Yudi Latif dalam Intelegensia Muslim dan Kuasa, bersebab kian besarnya kekhawatiran akan bahaya haji, Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1825, 1827, 1831 dan 1859 mengeluarkan berbagai Oordonnatie yang ditujukan untuk pembatasan ibadah haji dan memantau aktivitas mereka sekembalinya ke Tanah Air.

Puncak dari kekhawatiran Pemerintah Kolonial Belanda terhadap bahaya dari para haji ini tampak dengan dikeluarkannya Pilgrims Ordonnantie Staatsblad 1903 Nomer 26, Staatsblad 1922 Nomor 698, Staatsblad 1927 Nomor 508,  dan Staatsblad 1931 Nomor 44. Ringkasan dampaknya antara lain adalah:
1.      Tidak boleh lagi orang-orang asing, terutama Arab, berkunjung ke daerah Indonesia karena dianggap melakukan provokasi.
2.      Sultan, kaum priyayi, penguasa daerah, dan abdi dalem dilarang pergi haji, dikhawatirkan akan terpengaruh Pan-Islamisme.
3.      Membuka Karantina Haji di Pulau Onrust, Teluk Jakarta. Untuk alasan kesehatan memang di sinilah tempat penampungan para haji untuk dipastikan tak membawa penyakit menular. Tapi tercatat pula, di sinilah banyak para haji yang jika pulang dinilai akan menimbulkan masalah bagi pemerintah jajahan hidupnya berakhir.
4.      Mengharuskan yang sudah berhaji untuk selalu mencantumkan gelar hajinya, agar mudah diawasi. Orang yang pergi haji hanya diberi passpor khusus haji, agar tidak bisa pergi ke tempat lain.
5.      Masjid tidak boleh dibangun di tempat-tempat ramai. Kuburan didekatkan ke Masjid dan dihembuskanlah propaganda bahwa kuburan itu angker agar Masjid tak menjadi pusat pergerakan, tempat kaum muda berkumpul membahas nasib bangsa.

Disebabkan aturan inilah seorang putra Wedana di Kleco-Madiun sekaligus cucu Bupati Ponorogo yang bernama Oemar Said meninggalkan jabatannya sebagai ambtenaar dan bersungkal-faham dengan mertuanya. Dia memilih untuk berhaji, dan sepulangnya ke Nusantara membesarkan Sarekat Islam untuk menjadi Ibu bagi semua pergerakan Nasional dan rumahnya pun menjadi tempat tinggal para pemuda yang kelak menjadi para Bapak Bangsa. Namanya terus bergaung, sang Raja Jawa Tanpa Mahkota, Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Semboyannya yang berbahaya terus berkumandang: semurni-murni tauhid, setinggi-tinggi ilmu, sepandai-pandai siasat.


Inilah para haji kita, manusia-manusia yang berbahaya bagi segala kezhaliman, kemunkaran, dan kekejian. Kedatangan mereka ke tanah air dinantikan untuk menghabisi penindasan, keterpecahan, keterbelakangan, dan kebodohan.  Kedatangan mereka ke tanah air harus menjadi tonggak perubahan sosial, perbaikan ekonomi, pembinaan moral, peningkatan taraf pendidikan, kesehatan, serta kemakmuran.
Oleh Ridwan Hd


Amien Rais bercerita. Kesan yang tak pernah ia lupakan tentang Mohammad Natsir adalah kesederhanaan. Meski spernah menjadi perdana mentri, ketua umum Partai Masyumi beberapa periode, hingga Presiden Muktamar Islam se-Dunia, kehidupannya seperti rakyat biasa. Tak ada kemewahan yang terlihat di dalam dirinya.

Amien Rais juga heran. Ketika Natsir keluar dari tahanan orde lama, mencari rumah adalah masalah yang dihadapinya. “Nampaknya, ketika jadi mentri penerangan dan perdana mentri, serta ketika memimpin Partai Masyumi, ia tidak sempat memikirkan rumah.” duga Amien Rais yang ia tuliskan di buku Pak Natsir 80 Tahun.

Mantan Ketua MPR RI ini pernah mendengar cerita tentang sosok sederhana yang pernah jadi gurunya itu. Pernah suatu ketika salah seorang tokoh Muhammadiyah dari Banjarmasin mengalami kehabisan bekal pulang saat di Jakarta. Tak sungkan ia mencoba meminjam uang kepada sahabatnya yang saat itu sedang menjabat Perdana Mentri Republik Indonesia. Sunggu diluar dugaan jawaban Natsir, “Kalau mau pinjam uang pribadi kebetulan saya tidak punya. Tetapi saudara bisa pinjam uang dari majalah hikmah yang saya pimpin. Nanti pinjaman itu diperhitungkan dengan majalah hikmah.”

Cerita yang didengar Amien Rais ini membuatnya seperti tidak percaya. “Bagaimana mungkin seorang yang menduduki jabatan demikian tinggi sampai tak mempunyai uang?” tulis Amien Rais

Kalau Amie Rais mendengar dari cerita, George Mc Turan Kahin, guru besar dari Universitas Cornell dan terkenal dengan bukunya yang berjudul Nationalism and Revolution in Indonesia, melihat sendiri kesederhanaan Natsir.

“Dia tidak bakal berpakaian seperti seorang mentri,” kata Agus Salim kepada Kahin ketika ingin berkunjung ke kantor Kementrian Penerangan untuk bertemu Natsir di Yogyakarta pada 1948.

Apa yang dikatakan Agus Salim memang benar. Keesokan harinya Kahin menemukan seseorang yang sederhana dan rendah hati. Pakainnya tak menunjukkan sebagaimana layaknya seorang pejabat pemerintahan. “Malah ia memakai kemeja yang bertambalan, yang belum pernah saya lihat pada pegawai manapun dalam satu pemerintahan dimana kesederhanaan berpakaian berlaku sebagai suatu norma.” kenang Kahin dalam buku untuk memperingati 70 Tahun Mohammad Natsir.

Dari pengalaman kunjungan ke kantor Kementrian Penerangan, Kahin juga mendapat informasi bahwa para staf di kantor tersebut pernah membantu membelikan pakaian beberapa pasang kepada Natsir. Mereka sengaja membelikan agar atasannya bisa memakai pakaian yang layak ketika menghadiri acara-acara penting.

Memang, persoalan harta dan kekayaan bukan menjadi godaan Natsir sejak muda. Sejak lulus dari sekolah AMS dengan nilai yang memuaskan, sebenarnya Natsir berhak melanjutkan beasiswa ke perguruan tinggi atau bekerja sebagai pegawai pemerintah dengan gaji yang mapan. Namun itu tidak dipilihnya. Mejadi guru, membangun sekolah, menulis di surat kabar, dengan bertempat tinggal di gudang bangunan sekolah yang didirikannya, menjadi pilihan hidup Natsir masa muda. “Aba ingin berkhidmat dengan Islam,” kata Natsir ketika berkirim surat kepada istri dan anak-anaknya di tahun 1958 untuk mengenang masa lalunya.

Didikan kesederhanaan juga dikenang kuat oleh Anaknya, Siti Muchliesah. Di Majalah Tempo Seri Tokoh yang berjudul Natsir, Politik Santun di antara Dua Rezim, ia bercerita bahwa ayahya pernah menolak pemberian mobil dari seseorang.

Siti Muchliesah dan adik-adiknya sempat bergembira karena mobil Chevrolet Impala yang terpakir di depan rumahnya bakal menjadi milik mereka. Ia mendengar percakapan sang ayah dan tamunya yang berniat untuk memberikan mereka mobil yang terbilang wah pada tahun 1956. Saat itu, Natsir hanya memiliki mobil yang sudah kusam bermerek Desoto. Satu-satunya mobil yang dimiliki meski pernah menjabat mentri penerangan dan perdana mentri. Alasan mobil yang sudah “butut” itu menjadi keinginan sang tamu untuk membantu Natsir.

Harapan anak-anak Natsir itu buyar. Sang Ayah menolak pemberian itu. “Mobil itu bukan hak kita, lagi pula yang ada masih cukup.” kata Natsir kepada anak-anaknya.

Kata-kata ini begitu membekas di hati Siti Muchliesah. Orangtuanya memang sering berpesan kepada mereka, “Cukup yang ada. Jangan cari yang tiada. Pandai-pandailah mensyukuri nikmat.”

Aru Syeif Assad, salah satu pengurus di Dewan Dakwah Islamiyah (DDI), juga pernah menceritakan ketakjubannya tentang Natsir di buku Pemimpin Pulang.

Sekitar 1980, Natsir mendapat penghargaan King Faishal Award atas dedikasinya di dunia dakwah Islam. Seorang raja yang sampai harus ikut berdiri ketika Natsir masuk ruangan dalam sebuah acara memberikannya secara langsung penghargaan itu. Penghargaan yang diberikan bukan sekedar piagam, namun juga beserta sejumlah uang dari sang raja yang terbilang tidak sedikit.

Kembali ke Indonesia, Natsir langsung mengajak seluruh karyawan DDI berkumpul. Kepada seluruh karyawan ia hanya menanyakan tugas yang diemban masing-masing. “Semua karyawan seusai pertemuan menjadi bertanya-tanya apa maksud pertemuan ini sebenarnya?” tanya Aru Syeif Assad ketika itu.

Natsir hanya mendorong mereka agar semakin serius bekerja menangani permasalahan dakwah yang sedang dihadapi. Setelah acara selesai dilakukan foto bersama. Selanjutnya, bagian keuangan dari masing-masing unit memanggil para staf satu per satu. Mereka kaget. Ternyata mereka dibagikan amplop tebal yang berisi uang. Jumlahnya pun dua kali dari gaji mereka. Diketahui, uang tersebut berasal dari Raja Faishal yang diberikannya kepada Natsir. Namun, Natsir tak mau menyimpannya. Ia lebih berkenan membagikan kepada para karyawannya di DDI.

“Sejak saat itu saya mulai mengetahui kebiasaan Pak Natsir dengan uang.” lanjutnya bercerita. Tak hanya dari Raja Faishal, setiap Natsir mendapat kunjungan tokoh atau pemimpin negara dari Timur Tengah selalu mendapat sumbangan uang yang sebenarnya untuk pribadi. Tetapi, Uang itu selalu diserahkannya ke bagian keuangan DDI. Begitu juga dengan uang tunjangan pensiun dari jabatan Mentri Penerangan dan Perdana Mentri. Penanggung jawab keuangan DDI-lah yang mengambil rutin. Semua dana yang diperoleh Natsir ia sumbangkan untuk lembaga dakwah yang ia dirikan bersama para tokoh Masyumi pada 1967.
Oleh Ridwan Hd.


Baca sembelumnya: Mengenal Jong Islamieten Bond - Bagian 1 

Ada beberapa hal menarik yang disampaikan Kasman Singodimedjo dalam pidatonya kepada pengurus JIB di Batavia tahun 1925 yang dicantumkan di buku Hidup itu Berjuang; Kasman Singodimedjo 75 TahunPertama, kritiknya kepada generasi muda intelektual didikan sekolah Belanda yang tidak sungguh-sungguh menguasai bahasanya sendiri. Banyak anak-anak Jawa yang tak menguasai bahasanya, begitu juga suku Sunda, Melayu, dan lainnya. Di Jong Java sendiri, meski organisasi pemuda kejawaan justru menggunakan bahasa Belanda. Ini juga yang menjadi alasan JIB yang terpaksa menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa persatuan di lingkungan organisasi yang banyak dari berbagai suku bangsa.

Kedua, generasi muda intelektualnya telah hidup dengan gaya keeropaan. Dengan gaya seperti ini telah menjauhkan diri dari kehidupan rakyat. Sikap keeropaan ini telah menjadikan generasi mudanya merasan tinggi dengan menjadi eropa dan merendahkan sikap dan budaya rakyat yang sebenarnya adalah tempat mereka berasal.

Lalu yang ketiga, “adalah kenyataan yang pahit menyedihkan bahwa kita buta sama sekali terhadap hati nurani rakyat.” ucapnya. Didikan keeropaan di sekolah-sekolah Belanda telah menjauhkan mereka dari rakyat. Tak hanya itu, nilai dasar kebudayaan dan agama pun juga mulai ditinggalkan. Kalimat “Kembali Kepada Rakyat” menjadi penekanan yang kuat pada pidato Kasman.

Maka dari itu, pada penggalan pidato selanjutnya Kasman berucap, “Kita pemuda-pemuda Islam yang tergolong dalam golongan intelektual Islam haruslah tidak lagi menjadi orang asing terhadap Islam. Bahkan keterasingan itu harus berganti menjadi kesadaran bahwa kita justru bisa menjadi pemimpin dan penganjur Islam bagi rakyat.”

Program-program JIB mulai berjalan hingga tahun-tahun berikutnya. Program-programnya antara lain penerbitan majalah, pengadaan perpustakaan, kursus-kursus dan ceramah, olahraga, dan sebagainya. Organisasi ini semakin serius dikembangkan ketika pada tahun 1927  JIB mendirikan suatu Kern Lichaam sebagai lembaga inti. Lembaga ini ini di isi oleh orang-orang yang lebih mengetahui soal Islam agar bisa menjadi sarana untuk merencanankan dan mengusahakan kegiatan-kegiatan pendidikan untuk anggota yang lain. Tercatat yang pernah berada di Kern Lichaam adalah Mohammad Natsir dan Kasman Singodimedjo.

Keanggotaan JIB sendiri terdiri dari kalangan pemuda yang rata-data berumur 17 – 30 tahun. Sebagian besar adalah anak-anak yang bersekolah di tingkat MULO, AMS, HIK, dan perguruan tinggi. Karena latar belakangnya adalah perkumpulan pemuda yang terdidik dari sekolah-sekolah Belanda, pemuda-pemuda dari kalangan pesantren atau madrasah tidak ada yang menjadi anggota. Juga, organisasi ini hanya ditemui di kota-kota besar yang memiliki sekolah-sekolah tersebut. Di tahun 30-an cabang-cabang JIB sudah merambah kota-kota besar di luar Pulau Jawa, tercatat Kota Raja, Medan, Padang, Bukittinggi, Palembang, Makassar hingga Ambon dengan anggotanya mencapai 4.000 orang.

Jika pada masa itu organisasi-organisasi pemuda masih bersifat kedaerahan dengan semangat lokalitas budaya, maka JIB dianggap sebagai pelopor organisasi pemuda yang lepas dari ikatan daerah. Semangat Islam-lah yang menyatukan mereka dari kumpulan beberapa suku daerah.

Dalam surat kabar Het Licht November 1927 yang dikutip Deliar Noer. Wiwoho, Ketua JIB di kongres JIB ke 3 di Yogyakarta, menegasan bahwa JIB terlah berhasil berbuat nyata  melenyapkan rasa kedaerahan dan menggantikannya dengan rasa ke Indoesiaan.

Di buku Api Sejarah, Ahmad Mansur Surya Negara juga menuliskan peran JIB dalam persatuan nasional. Menurutnya JIB memiliki pengaruh besar dalam proses terjadinya Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928 yang kini dikenal dengan Sumpah Pemuda. “Kebangkitan Jong Islamieten Bond dengan melepaskan diri dari Jong Java membangkitkan perjuangan menegakkan nasionalisme Indonesia.” tulis Mansur.

Selama ini Jong Java hanya perkumpulan pemuda yang hanya bersifat kejawaan. Mansur juga menuliskan bahwa Jong Java sebagai sayap pemuda dari Boedi Oetomo tak mempunyai cita-cita persatuan nasional. Berbeda dengan JIB yang berhasil menghimpun pemuda-pemuda terdidik dari berbagai daerah di wilayah Nusantara. Tercatat pada kongres pertama JIB, Desember 1925, telah memilki 1.000 anggota di 7 cabang. Mansur juga menjelaskan, JIB menginspirasi lahirnya Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI) yang menjadi penggerak utama terjadinya Kongres Pemuda II.

Selain program-program yang disebutkan di atas, pada tahun 1926 atau setahun setelah JIB berdiri, Kasman Singodimedjo bersama Mohamad Roem mendirikan badan kepanduan di bawah JIB bernama Natioonal Indonesische Padvinderij(Natipij). Natipij memang organisasi kepanduan seperti biasa yang memiliki kegiatan adu tangkas dan mental bagi para pemuda-pemuda. Kegiatannya sama halnya dengan kepanduan pada umumnya. Namun, yang membedakan adalah adanya kewajiban mempelajari dan mentaati ajaran Islam bagi para anggotanya. “yang menarik dari nama Natipij ini ialah penyebutan ‘Nationaal Indonesische’ (kebangsaan Indonesia).” tulis juga Deliar Noer.

Kasman juga mengatakan dalam Hidup itu Berjuang; Kasman Singodimedjo 75 Tahun, bahwa dengan berdirinya IIB dan Natipj merupakan perintisan nyata dari gagasan-gagasan dan pengertian Sumpah pemuda yang dicetuskan pada 28 Oktober 1928. Kasman Singodimedjo sendiri diangkat menjadi Ketua JIB pada 1930 – 1935.

Deliar Noer juga mengungkapkan, “Bahwa kedua organisasi tersebut banyak sedikitnya telah berhasil menghambat sebagian pelajar dan mahasiswa Indonesia yang beragama Islam lari dari agama mereka.”


Oleh Ridwan Hd.



Malam tahun baru 1925 bukan hari bahagia buat Sjamsuridjal. Pemuda ningrat berdarah Jawa ini baru saja mengundurkan diri dari Ketua Jong Java di Kongres ke 7 di Yogyakarta bulan Desember 1924. Ia harus terpaksa mengundurkan diri karena merasa bukan tempatnya lagi berkiprah setelah usulnya pada Kongres Jong Java tak mendapat sambutan yang baik.

Jong Java adalah tempat bernaung pemuda-pemuda Jawa untuk mengajarkan sikap sakti, budi, dan bakti. Tiga sikap ini awalnya tujuan dari Tri Koro Darmo, organisasi yang didirikan tahun 1916. Lalu pada 1918 berubah menjadi Jong Java. Di Jong Java juga dibentuk sikap nasionalis, namun bukan nasionalis bersifat politis tetapi bersifat kebudayaan.

Sjam yang saat itu menjadi pimpinannya mencoba mengusulkan agar Islam di ajarkan kepada para anggota yang berminat. Usul yang bagi Sjam adalah usul yang wajar karena di Jong Java juga terdapat kegiatan yang diisi oleh para pendeta untuk mengajarkan agama kristen ke anggota yang berminat. Ajaran teosofi pun juga mendapat kesempatan mengisi kegiatan di Jong Java. Hanya kegiatan pendidikan ajaran Islam yang belum.

Usul sjam itu ternyata mendapatkan penolakan oleh sebagian anggota yang lain. Ketika dilakukan pemungutan suara sebanyak dua kali, antara pro dan kontra hasilnya sama-sama imbang. Kemudian keputusan diserahkan kepada ketua. Sebagai pengusul, kebimbangannya terjadi. Sjam bimbang untuk memutuskan apakah ia harus menjalankan usulnya atau tidak mau dituduh sebagai pemecah Jong Java. Maka ia memutuskan untuk memilih menolak usulnya dan  juga memutuskan mundur sebagai ketua. Sjam sadar, bahwa selama ini kelompok pemuda Islam sudah terlalu toleransi dengan hadirnya ajaran agama lain. Ketika mereka tidak punya toleransi terhadap kelompok muslim, keluar adalah jalan yang lebih baik.

Di tengah perasaan yang mencekam, Sjam bersama teman-teman sekelompoknya yang baru saja keluar dari sidang kongres, ditemui oleh Agus Salim di suatu persimpangan di Yogyakarta. Agus Salim kebetulan hadir di kongres tersebut sebagai undangan bersama beberapa pendeta dan guru teosofi. Agus Salim berusaha menentramkan perasaan mereka, “Jangan sedih, mari segera bentuk persatuan pemuda Islam dan kita akan menerbitkan surat kabar Islam berjudul Het Licht (Sinar). Orang-orang itu telah mencoba mematikan sinar Illahi tetapi Tuhan tak akan membiarkannya!” begitu ucap Agus Salim ketika bercerita kepada mahasiswa Cornell University di Amerika Serikat tahun 1953.

Kesepakatan pun terjadi. Pada malam itu juga yang sudah memasuki tanggal 1 Januari 2015, Jong Islamieten Bond (JIB) dicetuskan sebagai nama organisasi dengan cita-citanya sebagai wadah untuk mempelajari Islam bagi pemuda terdidik dan mendekatkan diri kepada rakyat yang memang banyak menganut Agama Islam. Pada bulan itu juga, mereka mengedarkan sirkuler yang berisi latar belakang masalah keberadaan JIB.

“... Tak seorang pun yang akan mungkin bekerja dengan sepenuh hati untuk meningkatkan taraf rakyat umumnya bila tidak mempunyai respek, apalagi simpati kepada agama rakyat ini. Agama yang merupakan faktor paling penting dalam semangat serta sifat bangsa kita.” tulis Sirkuler tersebut yang dikutip Deliar Noer dari surat kabar Het Lict No. 10, Desember 1925 untuk mengisi sambutan pada buku Mohamad Roem 70 Tahun.

Sikuler tersebut juga menjelaskan tentang banyaknya sekolah-sekolah milik pemerintah Hindia Belanda yang mengajarkan pandangan salah tentang Islam. Sekolah-sekolah cukup berhasil merubah pandangan anak didiknya sehingga mulai bersikap kebarat-baratan dan anti dengan Islam. Maka, organisasi baru ini memiliki kewajiban untuk menambah pengetahuan Islam di kalangan pemuda terpelajar dan “memperkuat simpati kepda Islam dan penganut-penganutnya.” lanjut salah satu kalimat yang dituliskan sirkuler tersebut.

Pelajar-pelajar Islam yang masih sadar dengan keislamannya berbondong-bondong bergabung ke JIB. Tercatat nama-nama yang menjadi tokoh nasional setelahnya seperti Kasman Singodimedjo dan Mohammad Roem ikut bergabung ke organisasi ini setelah sebelumnya juga aktif di Jong Java. Lanjut ada Prawoto, Jusuf Wibisono, dan Mohammad Natsir dari Bandung.

Bersambung ke: Mengenal Jong Islamieten Bond - Bagian 2
Para Pengunjung Bioskop Rex Batavia ketika akan Menyaksikan Film The Dawn Patrol tahun 1939 (Koleksi: http://www.kitlv.nl)

Rata-rata orang Indonesia gemar menonton film terutama di bioskop. Sejarah mencatat bahwa bioskop pertama kali diperkenalkan tahun 1895 oleh Robert Paul yang mendemonstrasikan kepada masyarakat di London mengenai kemampuan proyektor film. Lima tahun kemudian, tepatnya 5 Desember 1900 film masuk ke Hindia Belanda (Batavia, sekarang Jakarta) semula hanya lantaran rasa kebanggaan orang kulit putih yang tidak mau kalah dari saudara-saudaranya yang tinggal di tanah airnya. Istilah pada saat itu adalah “gambar idoep”.

Borneo Bioscoop 1910 (Koleksi:http://www.kitlv.nl)

Bioscoop Alahambra te Jogjakarta 1935 (Koleksi: http://www.kitlv.nl)
Bangunan bioskop masa itu menyerupai bangsal dengan dinding dari gedek dan beratapkan kaleng/seng. Setelah selesai pemutaran film, bioskop itu kemudian dibawa keliling ke kota yang lain. Bioskop ini di kenal dengan nama Talbot (nama dari pengusaha bioskop tsb). Bioskop lain diusahakan oleh seorang yang bernama Schwarz. Tempatnya terletak kira-kria di Kebon Jahe, Tanah Abang. Sebelum akhirnya hancur terbakar, bioskop ini menempati sebuah gedung di Pasar Baru.Tidak lama setelah itu (1903), sudah berdiri beberapa bioskop antara lain Elite untuk penonton kelas atas, Deca Park, Capitol untuk penonton kelas menengah, Rialto Senen dan Rialto Tanah Abang buat penonton kalangan menengah dan menengah ke bawah. Bioskop pertama di Indonesia berdiri pada Desember 1900, di Jl Tanah Abang I, Jakarta Pusat, karcis kelas I harganya dua gulden (perak) dan harga karcis kelas dua setengah perak.

Bioscoop te Magelang 1920 (Koleksi:http://www.kitlv.nl)
Setahun kemudian muncul fenomena layar tancap, antara lain di Deca Park (Gambir), Lapangan Tanah Abang, Lapangan Mangga Besar, Lapangan Stasiun Kota (Beos). Ada lagi bioskop yang bernama Jules Francois de Calonne (nama pengusahanya) yang terdapat di Deca Park. De Calonne ini mula-mula adalah bioskop terbuka di lapangan, yang pada zaman sekarang disebut “misbar”, gerimis bubar. De Calonne adalah cikal bakal dari bioskop Capitol yang terdapat di Pintu Air.

Suasana di dalam Bioskop Rex Batavia 1940 (Koleksi:http://www.kitlv.nl)
Pada  tahun 1936, berdasarkan data yang dikumpulkan oleh HM Johan Tjasmadi, seorang tokoh perbioskopan Indonesia, terdapat 225  bioskop yang ada di Hindia Belanda, menyebar di Bandung 9 bioskop, Jakarta 13 bioskop, Surabaya 14 bioskop dan Yogyakarta 6 bioskop. Pada era itu, kepemilikan bioskop sudah didominasi oleh pengusaha Tionghoa. Ada anggapan bahwa orang Cina pada saat itu merasa tertantang untuk membuka usaha bioskop yang sebelumnya dijalankan oleh pengusaha londo atau kulit putih. Selain itu dengan memiliki usaha bioskop, para pengusaha Tionghoa itu dapat menjamu para pejabat Belanda  yang menjadi relasi mereka di bioskop miliknya dengan disertai undangan menonton bioskop  yang dibuat indah, dan para pejabat yang diundang juga diberi hadiah  upeti makanan dan minuman.

Bioskop Rex Surabaya tahun 1936 Memutar Film Captain Blood (Koleksi: http://www.kitlv.nl)
Sepanjang tahun 1920 – 1930, film-film yang masuk ke Hindia Belanda berasal  dari Amerika (Hollywood), Eropa (Belanda, Prancis, Jerman) dan China (Legenda Tiongkok Asli). Sekitar tahun 1925, film terbaru keluaran Hollywood bahkan sudah diputar di bioskop-bioskop Hindia Belanda, lebih cepat daripada bioskop di Belanda sendiri.

Poster Film Mandarin yang berjudul “Love and Justice” di Jakarta 1940 (Koleksi:http://www.kitlv.nl)
Hiburan di Hindia Belanda memang selalu di sesuaikan dengan kelas dan Bioskop menjadi penanda bagi struktur kelas kolonial di Hindia Belanda.

sumber copy dari : https://phesolo.wordpress.com/foto-masa-lampau/bioscoop-masa-kolonial-dalam-bingkai-foto/

Foto diatas menampilkan dua orang jemaah haji dari Indrapura (Pesisir Selatan) dan Muko-muko (Bengkulu) yang dipotret di Konsulat Belanda di Jeddah pada tahun 1884. Tidak ada keterangan soal nama kedua orang itu, maupun kenapa kedua orang yang berlainan daerah itu difoto berdua. Apa memang mereka bersahabat ataukah karena alasan praktis saja, mumpung daerah asal mereka berdekatan.  Apapun itu, namun saya yakin keduanya tentu menjadi tokoh masyarakat sekembalinya dari Makkah mengingat jauh dan payahnya perjalanan yang mereka tempuh dalam menunaikan rukun Islam yang kelima itu. 

Pemerintah Belanda memang saat itu sedang giat mendokumentasikan dan memata-matai jemaah haji dari Hindia Belanda karena alasan politis. Mereka beranggapan bahwa pergaulan jemaah haji Hindia Belanda dengan jemaah haji lain dari seluruh dunia, bisa saja membawa paham baru yang dapat merugikan pemerintah sekembalinya mereka ke kampung halaman. Contoh sudah ada. Kembalinya Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang dari Makkah telah memicu Perang Paderi yang sangat melelahkan pemerintah kolonial. Jangan sampai pisang berbuah dua kali, begitu kira-kira. Itulah juga salah satu alasan di Jeddah didirikan Konsul Belanda pada 1872, meskipun mungkin saat itu hampir tidak ada orang Belanda yang perlu bepergian ke Jeddah.

Kalau ditilik ke belakang, dalam ordonansi haji atau Staatblads 1898 no.294, pelabuhan embarkasi haji (pilgrimhaven) di Hindia Belanda itu hanya 2: Batavia dan Padang. Jadi semua jemaah haji dari seluruh nusantara hanya bisa berangkat dari kedua kota itu saja. 

Sejak 1858, kapal uap maskapai Inggris dan Belanda mulai menggantikan kapal layar. Kalau dengan kapal layar perjalanan banyak singgah disana-sini dan rutenya tidak menentu, maka dengan kapal api rute perjalanannya direct Batavia-Jeddah via Padang. Lama perjalanan berkisar 20-25 hari. Ongkosnya dari Padang 50 dollar atau 105 gulden. Dari Batavia 60 dollar.

Dua Orang Jemaah Haji Asal Solok dengan Pas Jalan di Tangan (1884)
Yang lebih memberatkan adalah ketentuan pajak haji untuk mendapatkan pas jalan ke Jeddah yang diberlakukan sejak 1852. Nilainya 110 gulden. Bandingkan dengan tiket Padang-Jeddah yang 105 gulden. Lebih mahal daripada  tiket pulang.

Namun demikian yang namanya si Padang tentu tidak hilang akal, Mereka berangkat dengan pas jalan biasa ke Singapura. Dari sana baru lanjut lewat Malaka, Penang atau Bombay. Sebagaimana ditulis oleh Van der Meulen, konsul Belanda di Jeddah pada 1927.

"Orang Padang yang tidak mendapat tiket di Singapura mengambil rute baru. Dari Singapura dengan trein ke Kuala Lumpur, kemudian dengan koeli boot ke Madras, dengan hanya 1,23 gulden dan dengan trein ke Bombay. Dengan kapal haji, dari sana ke Jeddah. Rute ini lebih murah daripada langsung dengan kapal."


(Sumber: Googlebooks: Historiografi haji Indonesia (M. Shaleh Putuhena); KITLV)
Copy dari : http://minanglamo.blogspot.co.id/2014/09/jemaah-haji-1884.html
Duduk dari kanan: Syekh Daud Rasyidi, Syekh Mohd. Djamil Djambek, 
Syekh Sulaiman Ar Rasuli (Inyiak Canduang),
Syekh Ibrahim Musa (Inyiak Parabek), Syekh DR. Abdullah Ahmad
Sebuah foto yang langka, memotret para ulama besar Ranah Minang pada awal abad ke-20 yang dianggap sebagai para pembaharu ajaran Islam di Sumatera Barat dalam satu frame. Mereka lah yang disebut dengan ulama "Kaum Muda" sebagai lawan kata dari ulama Sumatera Barat generasi sebelumnya yang dibahasakan sebagai ulama "Kaum Tua".

Mereka adalah Syekh DR. Abdullah Ahmad dari Padang (1878-1933), Syekh Ibrahim Musa dari Parabek, dikenal sebagai Inyiak Parabek (1884-1963), Syekh Sulaiman Ar Rasuli dari Canduang, dikenal sebagai Inyiak Canduang (1871-1970), Syekh Muhammad Djamil Djambek dari Bukittinggi, dikenal sebagai Inyiak Djambek (1860-1947) dan Syekh Daud Rasyidi dari Balingka, dikenal sebagaiInyiak Daud (1880-1948). Kalaupun ada yang kurang dalam rombongan ini mungkin ialah Syekh  DR. Abdul Karim Amrullah dari Maninjau, dikenal sebagaiInyiak De-Er atau Haji Rasul (1879-1945).

Kalau ditarik lebih jauh, hubungan persaudaraan diantara Inyiak-Inyiak tersebut bertemu kepada guru mereka di Makkah Al Mukarramah, yaitu Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi, Imam dan Khatib mazhab Syafi'i di Masjidil Haram yang berasal dari Balai Gurah Canduang, Agam. Konon beliau adalah orang non Arab pertama yang memperoleh kedudukan yang sangat terhormat itu. Setiap anak Melayu yang menuntut ilmu agama di Makkah pada awal abad ke-20 hampir  dapat dipastikan adalah murid beliau.

Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi
Syekh Ahmad Khatib (1860- 1916) terkenal karena sikap kritisnya terhadap adat istiadat dan praktik keislaman di kampung halamannya karena dianggap telah bercampur baur dengan penyakit "TBC" alias Tahayul, Bid'ah dan Khurafat. Tahayul contohnya percaya kepada hari-hari naas, Bid'ah adalah amalan yang diada-adakan tanpa ada contoh dari Rasulullah. Sedangkan Khurafat (ejaan lama: Churafat) adalah syirik yaitu mempercayai kekuatan lain selain Allah misalnya kuburan, batu, keris, dsb. Maka tak heran jika   muridnya mewarisi pendapat yang sama. Inilah cikal bakal gerakan pembaruan Kaum Muda di awal abad ke-20 itu. Tepatnya setelah para murid itu kembali dari belajar di Makkah.

Isu pembaharuan itu pada umumnya berkisar kepada 2 hal pokok yaitu perkara hukum agama versus hukum adat serta praktek Tariqat dalam perspektif ajaran Islam. Sebagaimana diketahui, ajaran Islam pertama yang masuk ke Ranah Minang adalah dalam versi ajaran Tariqat, sehingga ritual-ritual tariqat mewarnai praktik kehidupan keislaman sehari-hari orang Minang pada saat itu. Kaum Muda menilai sebagian dari praktik tersebut terjangkit penyakit TBC tadi sehingga perlu diluruskan. Akibatnya tak jarang terjadi gesekan dengan penganut faham Kaum Tua.  Gerakan pembaruan ini berkebetulan sejalan dengan gerakan Muhammadiyah yang juga sedang berkembang di Tanah Jawa. Itulah juga sebabnya mengapa Muhammadiyah bisa tumbuh subur di Ranah Minang. 

Pembaharuan lain yang dilakukan oleh para Inyiak diatas adalah metode pengajaran agama. Pembacaan kitab, riwayat maupun syair puji-pujian yang sebelumnya dibacakan dalam bahasa Arab, oleh para Inyiak kita tadi ditukar kedalam bahasa Melayu, agar dapat dimengerti oleh segenap lapisan masyarakat. Inyiak Djambek adalah salah satu yang pertama melakukan hal ini di suraunya di Tangah Sawah Bukittinggi. Selain itu -berbeda dengan ulama terdahulu yang umumnya didatangi oleh masyarakat- para ulama Kaum Muda ini justru aktif mendatangi masyarakat dengan melakukan perjalanan tabligh ke mesjid-mesjid dan surau-surau di seantero Sumatera Barat. Tak heran nama mereka sangat dikenal masyarakat Ranah Minang pada saat itu, meskipun belum pernah bertemu secara fisik.

Dari kiri: Syekh HM. Thaib Umar Sungayang,
DR. H. Abdullah Ahmad,
DR. H. Abdul Karim Amrullah
Hal lain yang paling dramatis mendapat sentuhan pembaharuan adalah cara belajar agama Islam yang sebelumnya berbasis halaqahdi surau, diganti dengan caraklasikal di dalam ruangan kelas. Berdirilah madrasah-madrasah "modern" yang pada gilirannya menjadi tujuan belajar santri dari seluruh penjuru nusantara. 

Inyiak Parabek mendirikan Perguruan Sumatera Thawalib di Parabek pada 1921. Inyiak Haji Rasul mendirikan Perguruan Sumatera Thawalib di Padang Panjang pada 1918. Haji Abdullah Ahmad mendirikan Perguruan Adabiyah di Padang pada 1909 serta Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI) di Padang pada 1919. Inyiak Canduang mendirikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) di Canduang pada 1926.

Kembali ke foto di awal tulisan, para murid yang berdiri di belakang guru-guru mereka memperlihatkan ciri pembaharuan itu. Mereka tidak memakai gamis dan surban, tetapi memakai peci dan kemeja serta jas dan pentalon. Bahkan ada yang berdasi dan bersepatu lokak. Pakaian seperti ini jugalah yang dipakai oleh H. Abdullah Ahmad dan H. Abdul Karim Amrullah pada saat menerima gelar Doktor dari Universitas Al Azhar Mesir pada tahun 1926, sehingga konon terjadi sedikit kehebohan karena pakaian mereka diluar "pakem" ulama saat itu.

Sebenarnya ambo sudah berusaha mencari dalam momen apa para ulama kharismatik ini berkodak basamo, tapi tidak berhasil. Dalam taksiran ambo, foto ini diambil sekitar pertengahan hingga akhir 1920-an, berpatokan kepada penampilan Inyiak Djambek yang terlihat berada pada umur pertengahan 60-an tahun. Yang pasti karena H. Abdullah Ahmad ikut didalam foto ini, artinya foto ini diambil sebelum tahun 1933, yaitu tahun berpulangnya beliau.

Terakhir, sebagaimana prinsip ulama dahulu bahwa ulama melahirkan ulama pula, setidaknya ada 2 ulama besar generasi berikutnya yang berasal dari keturunan para ulama di atas. Tabligh Inyiak De-Er atau Haji Rasul dilanjutkan oleh anaknya H. Abdul Malik Karim Amrullah yang populer sebagai Buya Hamka, sedangkan syiar Inyiak Daud diteruskan oleh putranya H. Mansur Daud yang kita kenal sebagai Buya HMD Dt. Palimo Kayo.


Perform

video

Feature

Cat-5

Cat-6