Cat-1
Cat-2
Cat-3
Cat-4
Mei 2016
Oleh Ridwa Hd.
![]() | ||
Sebuah mural ekspresi kemerdekaan yang di foto tahun 1945 | Fotografer: John Florea, sumber: Time Life |
Sore hari pada 17 Agustus 1945, Mohammad Hatta menerima telepon dari Tuan Nishiyama, pembantu Admiral Maeda, yang meminta kesediannya untuk bicara dengan opsir Kaigun (Angkatan Laut Jepang). Opsir itu ingin mengemukakan suatu hal yang sangat penting. Hatta mempersilakan datang.
Opsir sebagai utusan Kaigun menyampaikan aspirasi keberatan dari wakil-wakil umat Protestan dan Katolik di wilayah Indonesia Timur atas kalimat pembukaan Undang-undang Dasar yang berbunyi: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Opsir itu menyampaikan jika wakil-wakil itu merasa di diskriminasi. Jika kalimat tersebut ditetapkan juga, mereka memilih berdiri di luar Republik Indonesia.
“Itu bukan suatu diskriminasi,” kata Hatta kepada opsir itu yang diceritakannya di buku Untukmu Negeriku. “Sebab, penetapan itu hanya mengenai rakyat yang beragama Islam. Waktu merumuskan Pembukaan Undang-undang Dasar, Mr. Maramis (beragama Kristen) yang ikut serta dalam panitia sembilan tidak mempunyai keberatan apa-apa dan pada tanggal 22 Juni ia ikut menandatanganinya.”
Opsir itu tetap menjelaskan bahwa apa yang disampaikan sudah menjadi pendirian para pemipin kristen dan katolik di daerah kekuasaan Angkatan Laut Jepang wilayah Indonesia Timur. Ancaman disintegrasi rupanya menakuti Hatta. Selama ini ia sudah berjuang mati-matian untuk bisa membuat negeri ini bersatu. Lalu Hatta meminta kepada opsir agar bersabar dan akan menyampaikan usulan itu kepada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan (PPKI) keesokan harinya.
Usul opsir itu disampaikan oleh Hatta pada sidang PPKI pada 18 Agustus 1945. Keributan pun terjadi. Kelompok Islam tidak terima dikarenakan Dasar Negara Pancasila sudah disepakati bersama pada 22 Juni 1945. “Memang pintar pihak minoritas non-Muslim itu. Pintar untuk memanfaatkan kesempatan moment psychologis.” komentar Kasman mengenai kejadian ini di buku Hidup itu Berjuang Kasman Singodemidjo 75 Tahun.
Mohammad Hatta mengusulkan formulasi baru pada sila pertama menjadi ‘Ketuhanan yang Maha Esa’. Ia menafsirkan kata Tuhan sebagai Allah, Tuhannya umat Islam. Demi menjaga persatuan untuk menghadapi penjajahan kembali, beberapa tokoh golongan Islam mengambil sikap mengalah dan menyetujui rancangan baru tersebut. Tidak dengan Ki Bagus Hadikusomo yang tetap ngotot mempertahankan Piagam Jakarta.
Kasman yang ikut sebagai anggota tambahan sidang PPKI, sebenarnya ingin tetap mempertahankan hasil kesepakatan Piagam Jakarta sebagai dasar negara. Karena baginya Piagam Jakarta adalah wajar dan sangat logis bagi bangsa dan rakyat Indonesia. Situasi yang genting dan waktu yang berjalan begitu cepat, ia memutuskan ikut mengalah untuk sementara.
Para tokoh Islam juga berupaya meyakinkan Ki Bagus Hadikusumo tetapi tidak berhasil. Soekarno akhinya meminta batuan Kasman. Selain sesama orang Muhammadiyah, Kasman memang cukup dekat dengan Ki Bagus Hadikusumo. Dengan berpegang pada janji Soekarno akan dibahas kembali persoalan dasar negara 6 bulan kemudian di sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Kasman memutuskan ikut membantu meyakinkan Ketua Muhammadiyah itu agar bisa melihat kenyataan bahwa kondisi saat itu sedang darurat.
“Kiyai, tidakkah bijaksana, jikalau kita sekarang sebagai umat Islam yang mayoritas ini sementara mengalah demi kemenangan cita-cita kita bersama, yakni tercapainya Indonesia merdeka ....” begitu usaha lobi Kasman. Ki Bagus Hadikusumo pun luluh.
Setelah berkompromi secara bulat dan sikap toleransi para tokoh Islam, disepakati hasil rumusan Pancasila pada kesepaktan Piagam Jakarta di pasal 1 berubah dari ‘Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ menjadi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Butir Pancasila hasil kesepakatan dari Panitia Sembilan dan sidang PPKI pada 18 Agustus 1945 itu yang dipakai hingga sekarang.
Sejak Soekarno memperkenalkan lima sila yang diberi nama Panca Sila pada 1 Juni 1945, masih belum disepakati sebagai dasar negara (baca juga: Sambutan Tepuk Tangan Ide Pancasila). Abdul Kahar Muzakkir, dalam pidatonya di Majelis Konstituante pada 1957, menceritakan kronologis pelaksaan sidang BPUPKI. Dengan jujur ia menjelaskan, bahwa dari 60 orang peserta sidang BPUPKI yang mewakili kelompok Islam hanya 25% saja. Kemudian yang memilih dasar negara kebangsaan sebanyak 45 suara dan memilih dasar Islam sebanyak 15 suara.
“Badan Penyelidik sesudah mengadakan rapat-rapatnya pada bulan Juni 1945 itu, memang belum begitu bulat pendapatnya tentang dasar negara,” ucap Muzakkir dalam sidang itu yang dirangkum di buku Debat Dasar Negara Islam dan Pancasila Konstituante 1957. “Terbukti ketika ada kesempatan kebanyakan anggota-anggota Badan Penyelidik berkumpul di Jakarta pada 22 Juni 1945, maka Bung Karno mengundang mereka berapat di ruangan Hokokai (Kementrian Keuangan sekarang).”
Dalam rapat itu, Soekarno mengusulkan dibentuk panitia kecil yang diberi nama Panitia Sembilan. Angota Panitia Sembilan adalah: Soekarno, Mohammad Hatta, Agus Salim, A. A. Maramis, Mohammad Yamin, Wahid Hasyim, A. Subarjo, Abikoesno, dan A. Kahar Muzakkir. Sebuah perbandingan yang adil dimana kelompok Islam berjumlah 4 orang, begitu juga kelompok kebangsaan 4 orang. Sedangkan Soekarno sebagai penengah dan pimpinan sidang.
Pada rapat 22 Juni 1945 itu, usulan lima sila soekarno yang terdiri dari: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme dan Peri Kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan Yang Maha Esa, disempurnakan oleh Panitia Sembilan.
Setelah rapat hingga jam 20.00 bertempat di kediaman Bung Karno di Jalan Pengangsaan Timur No. 56, Jakarta, disepakati rumusan lima sila yang berbunyi: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hasil rumusan Pancasila ini disepakati dengan nama Piagam Jakarta oleh Mohammad Yamin.
Kronologis jalannya sudang BPUPKI hingga PPKI juga diceritakan oleh Mohammad Yamin dalam buku Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1945. Hasil rumusan Panitia Sembilan memang banyak penolakan dari kelompok kebangsaan di Sidang BPUPKI tahap ke 2. Tetapi Soekarno dengan tegas mengatakan, “Kalau kalimat ini tidak dimasukan, tidak bisa diterima oleh kaum Islam.” Begitu juga anggota yang lain yang masih mempersoalkan sila pertama, lagi-lagi Soekarno dengan tegas bawah anak kalimat itu merupakan, “Kompromi antara golongan Islam dan kebangsaan, yang hanya didapat dengan susah payah.”
Rupanya penolakan sila pertama tak hanya datang dari kelompok kebangsaan, dari kalangan Islam, yakni Ki Bagus Hadikusumo juga tak sepakat dengan anak kalimat pasal satu: ... bagi pemeluk-pemeluknya. Ia meminta agar kalimat terakhir itu dihapus saja, tak perlu menggunakan kalimat Bagi pemeluk-pemeluknya.
Sekali lagi Soekarno mengingatkan sidang, bahwa anak kalimat itu adalah hasil kompromi antara dua pihak, “pendek kata inilah kompromis yang sebaik-baiknya. Jadi Panitia memegang teguh kompromis yang dinamakan oleh anggota yang terhormat Muhammad Yamin ‘Jakarta Charter’ yang disertai perkataan anggota yang terhormat Sukiman ‘Gentelman’s Agreement’, supaya ini dipegang teguh di antara pihak Islam dan pihak kebangsaan.” jelas Soekarno. Setelah mendengar pidato Abikoesno dari kelompok Islam, akhirnya sidang secara bulat sepakat dasar negara yang akan ditetapkan sesuai rumusan Panitia Sembilan.
“Dengan penegasan itu, belumlah berarti bahwa Islam dijadikan dasar negara,” kata Muzakkir kemudian di dalam pidato Majelis Konstituante pada 1957. “banyak sedikitnya dapat sekedar memberi jaminan bagi berlakunya hukum Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Oleh Ridwan Hd.
Suasana sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang berlangsung 29 hingga 31 Mei 1945 begitu ribut. Masing-masing orang membentuk kelompoknya sesuai pendapat yang ingin diajukan. Setiap jam istirahat, kelompok Islam melakukan pertemuan sendiri. Begitu juga kelompok kebangsaan, pendukung negara federal, dan kelompok-kelompok yang berbeda pandangan soal konsep wilayah negara.
“Aku duduk di tengah keributan itu dan membiarkan setiap orang mengeluarkan pendapatnya.” kata Soekarno dalam otobiografinya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat yang disusun Cindy Adams.
Menurut Soekaro, mereka semua terlalu banyak bicara “seandainya” dan menduga-duga. Kalau terus begini akan sulit menggapai kemerdekaan. “Kalau Jepang memberi kemerdekaan pada kami di hari itu juga, tentulah kami akan berkata, ‘Nanti dulu... tunggu sebentar. Kami belum siap’.” kata Soekarno.
Memasuki hari 1 Juni 1945, tiba giliran Soekarno berdiri di depan podium untuk mengungkapkan gagasannya tentang dasar negara. Setelah sidang dibuka, ia melangkah ke podium marmer yang berada di tempat yang lebih tinggi. Podium itu pernah berdiri Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk membuka resmi Volksraad, yaitu dewan perwakilan dari pemerintahan Hindia Belanda. Tempat berlangsungnya sidang BPUPKI memang berada di gedung bekas Volksraad.
Di podium itu, Soekarno memperkenalkan lima mutiara berharganya; Kebangsaan, Internasionalisme atau Perikemanusiaan, Demokrasi, Keadilan Sosial, dan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Berpidato tanpa teks, ia uraikan penjelasan ke lima usulan dasar negara di depan peserta BPUPKI. “Bangsa Indonesia, karena itu, meliputi semua orang yang bertempat tinggal di seluruh kepulauan Indonesia, dari Sabang di ujung utara Sumatera, sampai Merauke di Papua.” ucapnya ketika menjelaskan bagian kebangsaan.
Pada bagian internasionalisme, ia berkara, “Itu bukanlah Indonesia Uber Alles,” katanya tegas. “Indonesia hanya satu bagian kecil saja dari dunia. Ingatlah kata-kata Ghandi, saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan.” Dalam penjelasannya ini, ia menolak nasionalise seperti nasionalismenya orang Jerman terhadap bangsa Arya. “Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman sarinya Internasionalisme.”
“Kita tidak akan menjadi negara untuk satu orang atau satu golongan, tetapi, semua buat semua, satu buat semua, semua buat satu.” ucapnya menjelaskan bagian demokrasi. “Biarlah orang Islam bekerja sehebat-hebatnya agar supaya sebagian terbesar dari kursi Dewan Perwakilan Rakyat diduduki oleh utusan-utusan Islam. Kalau misal orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap peraturan dari negara Indonesia dijiwai Injil, bekerjalah mati-matian agar sebagian besar dari utusan-utusan adalah orang Kristen. Itu adil!”
Masuk bagian Keadilan Sosial, ia keluarkan pertanyaan retoriknya, “Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalismenya merajalela, ataukah yang semua rakayatnya sejahtera, karena merasa diayomi oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang pangan kepadanya?”
“Kita tidak menghendaki persamaan politik semata. Kita ingin demokrasi sosial. Demokrasi ekonomi. Satu dunia baru di dalam mana terdapat kesejahteraan bersama.” lanjutnya.
Terakhir, masuk pada bagian Ketuhanan Yang Maha Esa. “Marilah kita menyusun Indonesia merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Biarkan masing-masing orang Indonesia bertuhan Tuhannya sendiri. Hendaknya tiap-tiap orang menjalankan ibadahnya sesuai cara yang dipilihnya.”
Soekarno mengakui senang pada hal yang simbolik. “Rukun Islam ada lima. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai pancaindera. Jumlah pahlawan Mahabrata, Pandawa, juga lima. Sekarang asas-asas di atas dasar makna kita akan mendirikan negara, lima pula bilangannya.”
Dari ucapannya itulah keluar nama Pancasila. “Jika kuperas yang lima ini menjadi satu, maka dapatlah aku satu perkataan Indonesia tulen, yaitu perkataan gotong-royong. Gotong-royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua.
“Prinsip gotong-royong di antara yang kaya dan tidak kaya, antara yang Islam dan Kristen, antara yang Indonesia dan yang non-Indonesia. Inilah saudara-saudara, yang kuusulkan kepada saudara-saudara.”
Suara tepuk tangan terdengar bergemuruh. Mohammad Hatta dalam otobiografinya Untuk Negeriku, berkata, “Pidato itu disambut hampir semua anggota dengan tepuk tangan yang riuh. Tepuk tangan yang riuh itu dianggap sebagai suatu persetujuan.”
Pidato Soekarno ini juga menjadi akhir dari sidang BPUPKI tahap pertama. Rumusan yang diusulkan Soekarno akan diolah kembali untuk susunan Undang-undang Dasar di sidang BPUPKI ke dua dengan membentuk panitia sembilan. Tepat pada 22 Juni 1945, rumusan Pancasila disepakati bersama dengan kesepakatan bernama Piagam Jakarta (baca juga: Lima Sila Hasil Kompromi).
Oleh Ridwan Hd.
Pidato Soekarno di tahun 1928 nampak mengusik pikiran Agus Salim. Soekarno berkata, “Ibumu Indonesia teramat cantik. Cantik langitnya dan cantik buminya. ...” terus dilanjutkan berbagai keunggulan dan keelokan tanah air, “... Maka tidak lebih dari wajibmu apabila kamu memperhambakan, memperbudakkan dirimu kepada ibumu Indonesia. Menjadi putera yang mengikhlaskan setiamu kepadanya.”
Melalui harian Fadjar Asia yang terbit 28 Juli 1928, Agus Salim mengkritik pernyataan Soekarno itu. “Alasannya benar. Tujuannya baik.” kata Salim, “Tapi, atas nama Tanah Air, yang oleh beberapa bangsa disifatkan ‘dewi’ atau ‘ibu’, bangsa Perancis dengan gembira menurutkan Lodewijk XIV, penganiaya dan pengisap darah rakyat itu, menyerang, merusak, membinasakan negeri orang dan rakyat bangsa orang, sesamanya manusia.”
Agus Salim juga menjelaskan beberapa negara selain Perancis yang melakukan hal yang sama karena sikap nasionalisme negara-negara Eropa yang cendrung pada Chauvisme, seperti yang dilakukan Austria kepada Prusia, Jerman dan Itali kepada negara-negara tetangganya. Atas nama cinta tanah air, beberapa negara Eropa merendahkan derajat negara lain, dengan menjajah. “Demikianlah kita lihat, betapa agama yang menghambakan manusia kepada berhala tanah air itu mendekatkan kepada persaingan berebut-rebut kekayaan, kemegahan, dan kebesaran, kepada membusukan, memperhinakan dan merusak tanah air orang lain.”
Menghamba dan membudakan diri kepada dewi dan ibu sebagai bentuk presonifikasi tanah yang kita pijak karena keunggulannya, seperti kesuburan, bentangan alam yang indah, dan sebagainya, bagi Agus Salim adalah berbahaya. Menghamba pada sifat kebendaan dunia bukanlah cara untuk mencapai derajat kesempurnaan. Dunia sifatnya tidak kekal, maka jika nyawa itu sudah tidak ada akan habis gunanya. “Demikian juga dalam cinta tanah air kita mesti menunjukkan cita-cita kepada yang lebih tinggi daripada segala benda dan rupa dunia, yaitu kepada hak, keadilan, dan keutamaan yang batasnya dan ukurannya telah ditentukan telah ditentukan oleh Allah Subhanahuwa Ta’ala.”
"Alangkah baiknya," Agus Salim menyimpulkan, "jika cinta kepada tanah air itu karena Allah semata. Bukan karena eloknya dunia. Berlandas cinta kepada Allah dapat menghindari dari: menyimpang dari jalan hak, keadilan, dan keutamaan itu, karena dorongan hawa nafsu.”
Agus Salim mencontohkan cinta tanah air itu pada kisah Nabi Ibrahim yang tertuang pada Surat Ibrahim ayat ke 37. Dari kisah di ayat tersebut, Agus Salim menjelaskan tentang Nabi Ibrahim yang berada di tanah yang tandus, tanpa air, dan juga tak ada kehidupan. Namun, karena ketakwaannya kepada Allah, Nabi Ibrahim berdoa untuk meminta kemuliaan pada tanah tersebut menjadi tanah yang diberkahi. Doa Nabi Ibrahim kini terkabul dengan Melihat Kota Mekkah yang kini ramai dikunjungi jutaan penduduk bumi, dan penuh dengan buah-buahan dari segala penjuru dunia. Padahal, tanah di sana tandus.
Melalui Harian Fadjar Asia itu juga yang terbit pada 18 Agustus 1928, Soekarno menanggapi pernyataan Agus Salim. “Sekali-kali tidak menimbulkan pada kita dugaan akan persaingan dan perceraian, dan memang tidak bermaksud persaingan dan perceraian itu. Bukankah begitu, saudara Haji Agus Salim?” kata Soekarno.
Soekarno lebih membawa pendapatnya itu untuk tujuan persatuan. Propaganda kecintaan pada tanah air yang didengungkan Soekarno lebih kepada ajakan untuk bersatu dari tiap-tiap golongan yang ada. Bukan bermaksud untuk mengajak kecintaan dengan tujuan perpecahan dengan bangsa lain seperti yang ditakutkan Agus Salim. Kemudian ia menganggap tulisan sanggahannya ini sebagai pelengkap, bukan bantahan dari pernyataan Agus Salim yang dianggap Soekarno “lupa mengemukakan” soal persatuan itu.
Menurut Soekarno, Agus Salim lupa mengatakan bahwa rasa kebangsaan kini sedang berapi-api di dalam hati sanubari kaum Nasional Indonesia. Rasa kebangsaan menurut dirinya bukan kebangsaan yang agresif dan menyerang. Tidak seperti kebangsaan seperti di Eropa. “Tidak diarahkan ke luar, tetapi ialah diarahkan ke dalam.” jelas Soekarno.
Soekarno menjelaskan maksud nasionalisme dalam pandangannya. “Ia bukanlah nasionalisme yang timbul dari kesomboongan bangsa belaka; ia adalah nasionalisme yang melebar –nasionalisme yang timbul daripada pengetahuan atas susunan dunia dan riwayat , ia bukanlah jingo-nasionalismeatau chauvinisme, dan bukanlah suatu copie atau tiruan daripada nasionalisme barat. Nasionalisme kita ialah suatu nasionalisme yang menerima rasa hidupnya sebagai suatu wahyu dan menjalankan rasa hidupnya itu sebagai suatu bakti.”
Kemudian melanjutkan, “Nasionalisme kita adalah nasionalisme yang membuat kita menjadi perkakas Tuhan, dan membuat kita menjadi hidup dalam roh –sebagai yang saban-saban dikhotbahkan oleh Bipin Chandra Pal, pemimpin India yang besar itu. Dengan Nasionalisme yang demikian ini maka kita insaf dengan seinsaf-insafnya, bahwa negeri kita dan rakyat kita adalah sebagian daripada negeri Asia dan rakyat Asia. Kita kaum pergerakan nasional Indonesia, kita bukannya saja merasa menjadi abdi atau hamba dari pada tanah tumpah darah kita, akan tetapi jugalah merasa menjadi abdi dan hamba Asia, abdi dan hamba semua kaum sengsara, abdi dan hamba dunia...”
Soekarno juga banyak mencontohkan karakter nasionalisme dari para pempimpin Islam, seperti Moestafa Kamil, Amanoellah Khan, Arabi Pasha, dengan berbagai pernyataan cintanya pada tanah air.
Agus Salim kembali menanggapi melalui Harian Fadjar Asia yang terbit 20 Agustus 1928. Ia menegaskan tidak bermaksud untuk menunjukkan perpecahan atas tidak sependapatnya pada konsep nasionalisme Soekarno. Baik dari kalangan Nasionalis Sekuler yang diwakilkan Soekarno melalui Partai Nasionalis Indonesia (PNI) dan kalangan Islam yang diwakilkan Agus Salim melalui Partai Sarekat Islam (PSI), memiliki kesamaaan, yaitu sama-sama cinta pada tanah airnya. Sama-sama memiliki tujuan, yaitu kemuliaan bangsa dan kemerdekaan tanah air. Juga sama-sama pada tempat bergerak, yaitu negeri yang sedang terjajah oleh bangsa asing. Hanya saja, bagi Agus Salim, berbeda dalam asas dan niat. “Asas kita adalah agama, yaitu Islam. Niat kita Li’llaahi Ta’aala.” kata Salim.
Dalam penjelasannya, Agus Salim berusaha tetap mempertemukan kesamaan dalam perjuangan antar pergerakan. Kritiknya pada pidato Soekarno di awal tidak bermaksud mengganggu persatuan yang telah ditetapkan dalam pergerakan antara PSI dan PNI.
Dalam penjelasannya juga, Agus Salim sangat menghormati pandangan Soekarno dan mau menerima perbedaan pendapatnya. Ia hanya ingin mengemukakan menurut pandangannya sesuai asas dari PSI yang berideologi Islam, bahwa persatuan memang perintah Allah.
Dengan berlandas niat kepada Allah, akan terjaga dari sifat-sifat congkak dan sombong atas kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh tanah air. Jika sifat itu merasuk, seperti yang ditakuti Agus Salim, dapat memunculkan perendahan pada bangsa lain. Dengan niat karena Allah, rasa sombong itu bisa dijaga. Begitu juga apapun kekurangan yang ada pada negeri, seperti pada kisah Nabi Ibrahim tadi, cinta pada tanah air tetap terjaga.
Agus Salim menyimpulkan, “Kita merasa amat perlu mengemukakan ini sebab bergerak menuntut kemerdekaan bangsa dan tanah air yang dalam penghambaan, bukan perkara mudah dan bukanlah perkara yang memberi keyakinan akan mendapatkan untung dengan seketika, tetapi sebaliknya banyak sekali perdaya dunia yang bermancam-macam yang dapat menyesatkan dia. Hanya pengakuan batas-batas Allah yang dapat menjaga kesucian pergerakan keutamaan itu.”
Sumber: falkonunguCredit : Indisch Filmarchief Link: https://www.youtube.com/watch?v=FjzZTr6bs_8 Inilah Batavia, Ibu Kota Indonesia sebelum bernama Jakarta. Amazing!!
Oleh Ridwan Hd.
![]() |
Mohammad Roem di Konfrensi Inter Indonesia pada 1949 di Jogjakarta | sumber: media-kitlv.nl |
Masa perploncoan siswa baru di asrama School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) pada 1924 sedang berlangsung. Secara tiba-tiba, para senior dari perkumpulan Jong Sumatera masuk ke ruang tidur para siswa baru. Mereka langsung mendata dan mencatat nama-nama yang tertulis di lemari. “Kamu jadi anggota Jong Sumatra, ya!” paksa salah seorang Senior itu kepada Mohammad Roem. “Kontribusi setalen sebulan. Kamu tidak usah bayar sendiri, akan dipotong di kantor.” lanjutnya tanpa sela dan persetujuan.
“Habis perkara!” ungkap Roem dalam hati. Roem tidak bisa berbuat apa-apa atas tindakan paksa mereka.
Senior itu datang kembali keesokan harinya. Lalu marah-marah kepada Roem, “Kamu bohong! Kamu orang Jawa, tidak boleh jadi anggota Jong Sumatera.”
“Tuan yang (kemarin) ngomong sendiri!” balas Roem. Seniornya kemarin memang tidak menanyakan asalnya. Langsung main catat saja. “Saya sudah keliru. Mengapa kamu orang Jawa namanya tidak berakhir dengan O.” kata senior itu masih marah. Belum dijawab oleh Roem, si senior langsung pergi.
Perilaku para senior Roem di STOVIA merupakan salah satu kesibukan pertama di asrama. Mereka adalah para propagandis dari organisasi kepemudaan untuk merekrut anggota baru. “Karena kami masih berstatus plonco, maka propaganda itu tidak berlangsung dengan kata-kata yang lemah lembut.” cerita Roem tentang pengalamannya sekolah di STOVIA pada buku Bunga Rampai dari Sejarah jilid 2.
Aktivtas pemuda STOVIA memang cukup dinamis. Masih banyak waktu tersisa di luar jam berlajar membuat perkumpulan-perkumpulan pemuda itu hidup dengan subur. Mulai dari klub berdasarkan minat hobi seperti senam, main catur, kepanduan, joged Jawa, dan berbagai perkumpulan pemuda daerah. Perkumpulan-perkumpulan seperti Jong Java, Jong Sumatera, Jong Ambon, Jong Celebes, dan Jong-jong lainnya mempunyai komisariat di STOVIA. Setiap anak yang tergabung di perkumpulan harus membayar iuran. Iuran di potong dari uang saku yang berasal dari beasiswa pemerintah. Sejak 1924, atau tahun pertama belajar di STOVIA, Roem sudah aktif di kegiatan Jong Java.
Roem bercerita bahwa STOVIA tempatnya belajar ilmu kedokteran banyak melahirkan tokoh-tokoh pergerakan. Diantaranya yang terkenal adalah dr. Sutomo pediri Boedi Oetomo pada 1908. Dengan begitu, ada rasa kebanggaan tersendiri bisa mengenyam pendidikan di sekolah yang banyak melahirkan tokoh pergerakan.
Ia sendiri masuk STOVIA pada 1924. Teman-temannya se-asrama dari berbagai daerah, seperti Padang, Tapanuli, Makassar, Gorontalo, Bali, dan lain-lain. Meski mereka bersekolah bersama, dalam aktivitas organisasi kepemudaan mereka masih tersekat semangat kebangsaan daerah.
Roem juga bercerita tentang pengalaman menariknya ketika mulai berteman dengan Bustami yang berasal dari Sumatera. Pada hari bertama bersekolah mereka berjanji berangkat bersama dari asrama ke gedung sekolah yang ada di Salemba, Batavia. Sebelum tiba di gedung sekolah mereka mampir dahulu untuk sarapan. Di sini Roem heran, setahu Roem rumah makan yang ada bernama Langen Siswo, tetapi Bustami memilih tempat lain, sebuah rumah makan yang bernama Sumatraas Commensalenhuis. Roem baru sadar, untuk anak-anak Jawa makannya di warung Langen Siswo, sedangkan anak-anak Sumatera memilih Sumatraas Commensalenhuis.
Mereka belajar bersama-sama, tidur di asrama bersama-sama, tetapi makan ditempat berlainan membuat perasaan Roem heran. Lalu ia bertanya kepada Bustami soal tersebut. Di jawab saja oleh Bustami, “Kau akan kepedasan kalau makan rendang Padang,” kemudian Roem menimpali, “Kau akan keenakan kalau makan gudeg.” Namun rupanya, Roem justru suka dengan masakan Padang, begitu juga dengan Bustami yang ketagihan Gudeg. Seolah dalam cerita Roem ini, makanan bisa menjalin persatuan bangsa meski saat itu masih terpisah oleh sekat-sekat kebanggan daerah.
Saat Jong Islamieten Bond (JIB) berdiri di awal tahun 1925, Roem juga ikut bergabung. Tak ada penjelasan alasannya ikut bergabung di JIB. Namun, ia pernah terkesan dengan pidato salah seorang seniornya di STOVIA, yakni Kasman Singodimedjo. Ketika itu Kasman adalah pimpinan JIB cabang Batavia. Yang membuatnya berkesan dengan JIB adalah saat Kasman mengucapkan bahwa sebagai golongan terpelajar ada tanggung jawab untuk mengangkat rakyat dari keterbelakangan. Selama ini masih ada sekat-sekat pemisah antara golongan terdidik dengan rakyat jelata. “Kita harus kembali kepada rakyat!” tegas Kasman. Karena sebagian besar rakyat beragama Islam, maka kalangan intelektual harus mengenal agama Islam yang tidak diajarkan di sekolah. Dengan begitu bisa lebih dekat dengan rakyat.
Di JIB Roem melihat tidak ada sekat-sekat daerah. Semua anak dari berbagai daerah bisa bergabung dalam organisasi yang sama. Yang membedakan, JIB hanya menerima anggota beragama Islam. Hubungan persahabatan antara dirinya dengan Bustami, yang juga ikut bergabung di JIB, justru semakin erat karena bisa bekerja bersama di JIB. Tidak seperti organisasi perkumpulan pemuda sebelumnya yang memisahkan mereka karena perbedaan daerah asal.
Pada 1926 terjadi perubahanan kebijakan pendidikan pada STOVIA yang ditingkatkan statusnya menjadi perguruan tinggi dengan perubahan nama menjadi Geneeskundige Hoge school (HGS). Bagi siswa yang berada di kelas 1 dan 2 STOVIA karena setingkat dengan pendidikan AMS, maka diperkenanan untuk bersekolah di AMS afdeling B atau AMS Batavia. Sedangkan pada tingkat di atasnya bisa langsung melanjutkan di HGS. Roem yang berada di tingat satu dan dua harus memilih sekolah AMS. Setelah lulus AMS ia tidak melanjutkan ke HGS, tetapi justru memilih Rechts Hoge School(RHS), sehingga tidak menjadi dokter tetapi mendapat gelar Mr. (Misteer atau Sarjana Hukum).
Mendapat pendidikan di sekolah Belanda hingga ke jenjang yang tinggi tak membuat Roem dan sebagian kawan-kawannya aktivis pergerakan bersikap inlander. Aktif di organisasi kepemudaan bukan saja wadah aktulisasi diri tetapi juga membangun semangat kesadaran untuk membangun bangsanya. Seperti yang dikatakan Roem di dalam buku Mohamad Roem 70 Tahun, “Di dalam pergerakan Jong Java dan JIB itu kami semua umumnya sudah menyadari bahwa dengan berorganisasi kami kelak akan menjadi pemimpin-pemimpin bangsa di kemudian hari. Waktu itu kaum terpelajar bangsa kita menyadari, bahwa mereka mendapat kesempatan maju, sehingga harus mempunyai tekad untuk memimpin bangsanya yang masih sangat ketinggalan di segala bidang kehidupan.”
Keaktifan di organisasi ini kemudian mengantarkan Roem menjadi salah satu tokoh penting di awal Republik berdiri.
Oleh Yusuf Maulana
"Selama penaklukan-penaklukan mereka di wilayah Timur Tengah pada abad ke-13, pasukan Mongol tidak menunjukkan kecintaannya pada dunia pendidikan dan tidak menghargai kekayaan. Mereka menghancurkan keseluruhan kota dan (menyebabkan) koleksi perpustakaan hilang dalam pembakaran-pembakaran (dalam pengertian yang literal), sebab anggota-anggota dari pasukan berkuda yang merusak itu menggunakan manuskrip-manuskrip untuk bahan pembakar.
Perpustakaan utama di kota Tripoli dirusak oleh tentara pasukan perang Salib atas perintah seorang biarawan yang tidak suka dengan salinan-salinan Al-Qur'an yang tersimpan di rak-raknya. Jumlah seri yang dihancurkan dengan semangat keagamaan tentara Salib bahkan tidak dapat diperkirakan.
Perpustakaan-perpustakaan besar di pusat-pusat kebudayaan bangsa Moor (Andalusia; Spanyol) juga punah karena keberingasan orang-orang Kristen yang menghancurkan apa yang mereka anggap sebagai buku-buku berbahaya yang menyelewengkan ajaran (heretik) dan mengandung ilmu mistik orang-orang kafir. Sedikit koleksi pribadi dan umum di Cordova, Granada, dan Toledo masih tersisa.
Untungnya, banyak karya terbaik pemikiran keislaman sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin sebelum peristiwa-peristiwa penghancuran ini, dan selamat dari kehancuran untuk menerangi sarjana-sarjana yang mulai tumbuh di dunia Barat. Namun, kita, para sarjana dari generasi kemudian, hanya dapat memperkirakan tentang banyaknya (karya-karya) yang hilang.
Dalam dunia ilmu pengetahuan, kekosongan apa pun yang terjadi pasti terjembatani. Tetapi, dalam dunia filsafat dan seni sastra, sama sekali tidak ada jalan untuk menghitung keuntungan yang mestinya diraih, oleh generasi belakangan, dari (sic! musnahnya) pandangan otak-otak yang cemerlang pada abad itu."
Demikian petikan apik dari buku Charles Michael Spanyol, Pendidikan Tinggi dalam Islam (Jakarta: Logis), 1994, halaman 170-171. Saya cuplik dengan menata alinea agar sedap di mata kisanak. Sebuah kado di Hari Buku Nasional, 17 Mei ini.
Membaca masa silam disingkirkannya alam berpikir lewat teks langsung terpaut dengan berita razia dan pelarangan buku bernuansa komunis atau sekurangnya bersimpati pada isme ini. Memang ada sikap berlebihan dari aparat yang kadang malah bukan saja tidak efektif, melainkan juga kontraproduktif hasilnya lantaran mengundang rasa penasaran anak muda. Sesuatu yang awalnya berjarak malah didekati karena ingin menciptakan penanda beda dengan penguasa. Lebih-lebih disokong arus global yang tidak hendak adanya pembatasan.
Namun berlebihan kiranya juga patut disematkan pada sebagian pencela aparat. Seolah razia dan pelarangan buku isme kiri puncak fasisme. Kekerasan dilawan dengan kekerasan bahasa. Menuding pelarangan sementara faktanya mesin distribusi buku tersebut masih beroperasi di bawah tanah dengan aman. Amat jauh dengan fasisme ala Mongol hingga pasukan Salib dalam melampaui kenormalan manusia. Buku dihanguskan tanpa ampun. Tapi bagi Muslim kala itu, adakah praktik protes kekerasan bahasa hingga sikap-sikap "lebay" nan cengeng meratapi kekalahan?
![]() |
Ilustrasi: Aljazeera |
Perpustakaan utama di kota Tripoli dirusak oleh tentara pasukan perang Salib atas perintah seorang biarawan yang tidak suka dengan salinan-salinan Al-Qur'an yang tersimpan di rak-raknya. Jumlah seri yang dihancurkan dengan semangat keagamaan tentara Salib bahkan tidak dapat diperkirakan.
Perpustakaan-perpustakaan besar di pusat-pusat kebudayaan bangsa Moor (Andalusia; Spanyol) juga punah karena keberingasan orang-orang Kristen yang menghancurkan apa yang mereka anggap sebagai buku-buku berbahaya yang menyelewengkan ajaran (heretik) dan mengandung ilmu mistik orang-orang kafir. Sedikit koleksi pribadi dan umum di Cordova, Granada, dan Toledo masih tersisa.
Untungnya, banyak karya terbaik pemikiran keislaman sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin sebelum peristiwa-peristiwa penghancuran ini, dan selamat dari kehancuran untuk menerangi sarjana-sarjana yang mulai tumbuh di dunia Barat. Namun, kita, para sarjana dari generasi kemudian, hanya dapat memperkirakan tentang banyaknya (karya-karya) yang hilang.
Dalam dunia ilmu pengetahuan, kekosongan apa pun yang terjadi pasti terjembatani. Tetapi, dalam dunia filsafat dan seni sastra, sama sekali tidak ada jalan untuk menghitung keuntungan yang mestinya diraih, oleh generasi belakangan, dari (sic! musnahnya) pandangan otak-otak yang cemerlang pada abad itu."
Demikian petikan apik dari buku Charles Michael Spanyol, Pendidikan Tinggi dalam Islam (Jakarta: Logis), 1994, halaman 170-171. Saya cuplik dengan menata alinea agar sedap di mata kisanak. Sebuah kado di Hari Buku Nasional, 17 Mei ini.
Membaca masa silam disingkirkannya alam berpikir lewat teks langsung terpaut dengan berita razia dan pelarangan buku bernuansa komunis atau sekurangnya bersimpati pada isme ini. Memang ada sikap berlebihan dari aparat yang kadang malah bukan saja tidak efektif, melainkan juga kontraproduktif hasilnya lantaran mengundang rasa penasaran anak muda. Sesuatu yang awalnya berjarak malah didekati karena ingin menciptakan penanda beda dengan penguasa. Lebih-lebih disokong arus global yang tidak hendak adanya pembatasan.
Namun berlebihan kiranya juga patut disematkan pada sebagian pencela aparat. Seolah razia dan pelarangan buku isme kiri puncak fasisme. Kekerasan dilawan dengan kekerasan bahasa. Menuding pelarangan sementara faktanya mesin distribusi buku tersebut masih beroperasi di bawah tanah dengan aman. Amat jauh dengan fasisme ala Mongol hingga pasukan Salib dalam melampaui kenormalan manusia. Buku dihanguskan tanpa ampun. Tapi bagi Muslim kala itu, adakah praktik protes kekerasan bahasa hingga sikap-sikap "lebay" nan cengeng meratapi kekalahan?
Sumber video: Dutch Docu Channel
Link: https://www.youtube.com/watch?v=S2RYcv-yPQY
Sedikit tentang KNIL
KNIL memiliki kepanjangan Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger memiliki arti Tentara Kerajaan Hindia Belanda. Kalau dalam negara Republik Indonesia memiliki perangkat militer bernama TNI, maka di masa kekuasaan Belanda di Nusantara dengan nama negara Hindia Belanda memiliki perangkat militer diberi nama KNIL.
Meski menjadi perangkat militer Belanda, hampir sebagian besar anggotanya adalah para pribumi. Banyaknya prajurit pribumi yang ada di KNIL hampir 70%. Dikalangan perwira mayoritas masih dikuasi orang-orang Belanda atau Eropa non Belanda. Ada juga perwira dari kalangan pribumi. Kebanyakan, perwira dari kalangan pribumi adalah orang-orang dari rakyat kelas bangsawan atau keluarga yang memiliki kedudukan tinggi di kalangan orang-orang Belanda. Diantara orang pribumi yang pernah menjadi perwira KNIL adalah Mangkunegara VII, Sultan Hamid II, Oerip Soemohardjo, E. Kawilarang, Abdul Haris Nasution, Gatot Subroto, dan TB. Simatupang. Beberapa nama-nama ini nanti akan memegang peranan penting di tubuh TNI setelah Indonesia merdeka.
Mengutip dari wikipedia, KNIL berdiri atas keputusan Gubernur Jenderal van den Bosch pada 4 Desember 1830 yang dinamakan "Algemeene Orders voor het Nederlandsch-Oost-Indische leger" di mana ditetapkan pembentukan suatu organisasi ketentaraan yang baru untuk Hindia Belanda, yaitu Oost-Indische Leger (Tentara India Timur) dan pada tahun 1836, atas saran dari Raja Willem I, tentara ini mendapat predikat "Koninklijk".
Namun dalam penggunaan sehari-hari, kata ini tidak pernah digunakan selama sekitar satu abad, dan baru tahun 1933, ketika Hendrik Colijn –yang juga pernah bertugas sebagai perwira di Oost-Indische Leger- menjadi Perdana Menteri, secara resmi tentara di India-Belanda dinamakan Koninklijk Nederlands-Indisch Leger, disingkat KNIL.
Keputusan berdirinya KNIL setelah Belanda berhasil memenangkan perang jawa, atau Perang Diponegoro, sehingga berhasil menancapkan kekuasaannya di hampir seluruh Nusantara kecuali Aceh. Perang besar yang menghabiskan biaya besar bagi kNIL ketika menghadapi perang Aceh pada 1873 - 1904. Perang ini berlangsung sangat lama dikarenakan semangat jihad yang masih tinggi di kalangan rakyat Aceh. Aceh berhasil ditaklukan KNIL setelah mengirimkan mata-mata bernama Snouck Hurgronje untuk mempelajari kehidupan rakyat. Atas saran-saran Snouck Hurgronje, seperti salah satunya lebih menghancurkan kekuatan ulama daripada para bangsawan, akhirnya kesultanan Aceh menyerah pada 1904.
Tahun 1936, jumlah pribumi yang menjadi serdadu KNIL mencapai 33 ribu orang, atau sekitar 71% dari keseluruhan tentara KNIL, di antaranya terdapat sekitar 4.000 orang Ambon, 5.000 orang Manado dan 13.000 orang Jawa.
Apabila meneliti jumlah perwira, bintara serta prajurit yang murni orang Belanda terlihat, bahwa sebenarnya jumlah mereka sangat kecil. Pribumi yang mencapai pangkat tertinggi di KNIL adalah Kolonel KNIL Abdulkadir Widjojoatmodjo, yang tahun 1947 memimpin delegasi Belanda dalam perundingan di atas kapal perang AS Renville, yang membuahkan Persetujuan Renville. Seorang Indonesia, Sultan Hamid II dari Pontianak, yang dididik oleh dua perwira Inggris, mencapai pangkat Mayor Jenderal dalam posisi Asisten Politik Ratu Juliana.
Dengan berdirinya negara Republik Indonesia dan TNI serta diakui kedaulatannya oleh Belanda pada tanggal 27 Desember 1949, maka pada tahun 1950 KNIL dibubarkan. Berdasarkan keputusan kerajaan tanggal 20 Juli 1950, pada 26 Juli 1950 pukul 00.00, setelah berumur sekitar 120 tahun, atau KNIL dinyatakan dibubarkan. Berdasarkan hasil keputusan Konferensi Meja Bundar, mantan tentara KNIL yang jumlahnya diperkirakan sekitar 60.000 yang ingin masuk ke "Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat" (APRIS) harus diterima dengan pangkat yang sama. Beberapa dari mereka kemudian pada tahun 70-an mencapai pangkat Mayor Jenderal TNI. Jumlah orang KNIL dari Ambon diperkirakan sekitar 5.000 orang, yang sebagian besar ikut dibawa ke Belanda dan tinggal di sana sampai sekarang.
Oleh Ridwan Hd.
![]() |
Kongres pertama Boedi Oetomo di Yogyakarta | Foto: KITLV |
Lima tahun setelah penetapan hari kelahiran Budi Utomo sebagai hari kebangkitan nasional Hadji Samahoedi akhirnya bersuara. Ia menuturkan kepada Tamar Djaja, salah seorang jurnalis dari Himpunan Pengarang Islam, bahwa Sarekat Dagang Islam didirikan oleh dirinya pada 16 Oktober 1905. Penuturannya itu dilakukan ketika ia datang ke Jakarta menghadiri pertemuan para veteran Sarekat Islam pada 1953 saat umurnya telah menginjak 75 tahun. Sejak lepas dari jabatan Ketua Sarekat Islam hingga Indonesia Merdeka, ia tidak aktif lagi di dunia pergerakan.
Timur Jaylani dalam tesisnya di Institute of Islamic studies, McGill University pada April 1959 dengan judul The Sarekat Islam Movement; It's Contribution to Indonesian Nationalism, menuliskan bahwa Hadji Samanhoedi memilki saksi dan bukti pendukung penuturannya. Para saksi itu adalah Suwandi dan Raden Gunawan. Kedua orang ini terlibat dalam pertemuan 16 Oktober 1905 di rumah Hadji Samanhoedi untuk menggagas organisasi penghimpun para pedagang muslim. Mereka semua masih hidup dan ikut hadir pada pertemua itu. Selain itu, ada bukti lain dari kebenaran pernyataan Hadji Samanhudi ini, yaitu foto-foto pertama Sarekat Dagang Islam berdiri.
Penuturan Hadji Samanhoedi yang dipublikasi oleh Tamar Djaja dan juga menjadi tesis Timur Jaylani menjadi rujukan utama para sejarawan pendukung berdirinya Sarekat Dagang Islam di tahun 1905. Lalu muncul tuntutan agar Sarekat Dagang Islam seharusnya menjadi pelopor kebangkitan nasional. Tuntutan itu sudah dimulai sejak Kongres Mubaligh Islam Indonesia di Medan pada 1956 agar hari kebangkitan nasional menjadi 16 Oktober.
Berbeda dengan Deliar Noer, sejarawan Muslim melalui disertasinya di Cornell University yang berjudul The Modernist Muslim Movement In Indonesia, menyatakan tidak sepakatnya. Deliar Noer bercerita dalam catatan kaki, ia membantah kesimpulan Tamar Djaja atas penuturan Hadji Samanhoedi.
Deliar Noer juga mengaku melakukan wawancara dengan Hadji Samanhoedi, termasuk para tokoh penting Sarekat Islam seperti Abdoel Moeis (Wakil Ketua Sarekat Islam 1916-1923), Syaikh Awad Sjahbal (teman rapat Samanhoedi), Ki Ahmad Bermawi (Pendiri SI di Palembang tahun 1913), dan Raden Gunawan. Begitu juga data-data dari berbagai surat kabar yang terbit sekitar waktu berdirinya Sarekat Islam ia teliti. Nampak, Deliar Noer lebih memilih sikap berdasar data-data tertulis seperti publikasi media atau catatan resmi yang dikeluarkan oleh badan hukum dari pada sekedar pengakuan.
Sesuai akta badan hukum pemerintah Hindia Belanda, Deliar Noer menyimpulkan, Sarekat Islam yang berawal dari Sarekat Dagang Islam dengan tokoh pendirinya Hadji Samanhoedi berdiri pada 11 November 1911.
Versi menarik lagi dari Takashi Sirashi dengan bukunya Zaman Bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa 1912 – 1916, yang juga hasil disertasi dari Cornell Unniversty tahun 1990. Takashi lebih banyak mengambil data tertulis dari catatan DA. Rinkes, pejabat penasehat pemerintah Hindia Belanda urusan Bumiputera. Ia juga banyak mengambil data dari arsip inventaris Pemerintahan Hindia Belanda langsung.
Menurut Takashi, Sarekat Dagang Islam yang dikomando oleh Samanhoedi adalah cabang dari Sarkat Dagang Islamijah Bogor yang didirikan RM Tirto Adhi Soewirjo tahun 1909. Awalnya mereka adalah para pedagang batik di Lawean, Solo, yang mendirikan kelompok ronda bernama Rekso Roemekso. Niatnya hanya menjaga keamanan dari para kecu yang sering mencuri batik produksi mereka. Seiring waktu, ketika Cina berhasil dalam revolusinya menurunkan Kaisar Puyi tahun 1911, orang-orang Cina di Solo menunjukkan sikap angkuh. Konflik pun terjadi antara Rekso Roemekso dengan organisasi dagang orang-orang Cina yang memiliki nama Kong Sing.
Konflik tersebut membuat Residen Solo saat itu mempertanyakan status legalitas Rekso Roemekso. Jika tidak ada legalitasnya bisa dianggap sebagai organisasi liar yang harus diberantas. Atas ancaman itu, teman dekat Samahoedi yang bernama Djojomargoso dari pegawai kepatihan meminta tolong kepada Martodharsono yang merupakan teman dari Tirto. Tirto tak hanya sebagai pendiri Sarekat Dagang Islam di Bogor, tetapi juga pimpinan redaksi surat kabar Medan Prijaji dan dekat dengan kalangan pemerintah Hindia Belanda.
Ketika ada penyelidikan, Martodharsono mengatakan kepada penyidik bahwa Rekso Roemekso adalah Sarekat Dagang Islam cabang dari Sarekat Dagang Islam yang ada di Bogor yang didirikan Tirto. Lalu, Djojomargoso melalui Martodharsono juga meminta bantuan Trito membuatkan anggaran dasar organisasi. Namuni yang terjadi, Tirto menyusun Anggaran Dasar dengan nama Sarekat Islam bertanda tangan pada 9 November 1911. Meski sudah berbentuk organisasi modern, menurut Takashi, langkah geraknya masih seperti organisasi ronda sebelumnya hingga Tjokroaminoto bergabung menjadi anggota.
Deliar Noer juga menyebut nama Tirto dalam bukunya. Ia mengatakan jika Tirto memang diminta Samanhoedi membuatkan anggaran dasar organisasi. Tapi tidak menyebutkan ada nama Rekso Roemekso. Samanhoedi kenal dengan Tirto ketika sedang berkunjung ke Bogor dalam rangka dagang.
Dibalik perdebatan tentang waktu berdirinya Sarekat Dagang Islam, baik Deliar Noer, Timur Jaylani, dan Takashi Shiraisi tetap sepakat bahwa Boedi Utomo tak layak sebagai pelopor kebangkitan nasional karena sifatnya yang tertutup, hanya menerima anggota dari kalangan orang Jawa saja. Bahkan, setelah Dr. Soetomo tidak lagi memimpin setelah 6 bulan berdiri, anggota Boedi Utomo hanya dikuasai oleh para priayi.
Menariknya lagi, Takashi lebih menyebut nama RM Tirto Adhi Soewirjo sebagi pelopor kesadaran nasional. “Ia adalah archetypepemimpin pergerakan dekade berikutnya dan bumiputera pertama yang menggerakan ‘bangsa’ melalui bahasanya, yaitu bahasa yang ditulisnya dalam meda prijaji.” tulisnya.
Dari catatan Takashi, Tirto menjadi wartawan surat kabar sejak 1903 di usia 21 tahun. Ia mendirikan surat kabar Soenda Berita yang didanai oleh Bupati Cianjur RAA Prawiradiredja. Soenda Berita adalah surat kabar yang didanai, dikelola, dan diterbitkan murni oleh bumiputera. Saat itu, surat kabar kebanyakan masih dikolela atau didanai oleh kalangan Eropa ataupun Cina.
Pada 1906, ia juga terlibat mendirikan organisasi Sarekat Prijaji yang bertujuan memajukan pendidikan anak-anak priayi. Kemudian pada 1907, Tirto menerbitkan surat kabar mingguan bernama Meda Prijaji. Pada 1909, Medan prijaji berubah menjadi surat kabar harian. “Tirtoadhisoerjo menciptakan gaya jurnalistik tersendiri dalam Medan Prijaji dengan bahasa yang penuh sindiran dan penggunaan kata-kata Jawa dan Belanda.” tulis Takashi. Meski bernama Medan Prijaji, surat kabar ini tak hanya untuk kalangan priayi, tetapi dibaca oleh semua kalangan dengan bahasa melayu, dan menjadi surat kabar populer hingga 1911.
Peran membangun kesadaran “bangkit” melalui surat kabar ini dianggap Takashi sebagai bumiputera pertama yang menggerakan bangsa melalui bahasa. Kesimpulan Takashi juga sejalan dengan Pramoedya Ananta Toer yang kemudian menuliskan biografi lengkap Tirto pada buku Sang Pemula.
Sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara justru menulis Tirto sebagai tokoh antagonis. Ia melihat Tirto jauh dari tokoh yang berjuang untuk bangsanya. Di dalam buku Api Sejarah, Ahmad Mansyur menyimpulkan dari kedekatan dengan RAA Prawiradiredja yang mendanai surat kabarnya, Soenda Berita. Sedangkan RAA Prawiradiredja adalah bupati yang berjasa kepada pemerintah Hindia Belanda dalam menjalankan tanam paksa di Cianjur. Karena program tanam paksa itu, RAA Prawiradiredja mendapat penghargaan mulia dari pemerintah dan menjadi bupati terkaya di Pulau Jawa.
Begitu juga dengan Tirto, ia sendiri lahir dari keluarga yang terkenal sukses dalam memungut pajak rakyat untuk pemerintah Hindia Belanda. Jasa keluarga ini menjadikan modal dirinya bisa sangat dekat dengan para petinggi pemerintah. Kedekatan Tirto dengan penguasa Hindia Belanda juga diakui Takashi dengan menuliskan, “Keberhasilan Tirtoadhisoerjo sebagai redaktur-penerbit pertama sebagian karena hubungannya dengan Gubernur Jenderal Van Heutsz, yang memberinya perlindungan dari ganguan birokrasi...”
Di dalam bukunya itu juga Ahmad Mansyur menjelaskan bahwa Sarekat Dagang Islamijah yang didirikan Tirto di Bogor tahun 1909 adalah organisasi sempalan yang disponsori pemerintah Hindia Belanda untuk menyaingi Sarekat Dagang Islam pimpinan Samanhoedi di Solo. Perbedaannya, Sarekat Dagang Islamijah di Bogor terdaftar resmi secara legalitas di notaris pemerintah, sedangkan Sarekat Dagang Islam di Solo belum tercatat meski jumlah anggotanya lebih besar. Ahmad Mansyur termasuk sejarawan yang mendukung Sarekat Dagang Islam berdiri pada 16 Oktober 1905.
Apapun perdebatan sosok yang layak menjadi pelopor kebangkitan bangsa, keputusan pemerintah pada Kabinet Hatta tahun 1948 menetapkan Budi Utomo sebagai organisasi pelopor kebangkitan memang layak digugat kembali. Kemudian mencari pendapat yang kuat antara memilih Hadji Samanhoedi atau RM. Tirto Adhi Soerjo sebagai tokoh yang pantas, ataukah tak perlu ada hari kebangkitan nasional sama sekali?
![]() |
Sumber: KNVB Fotocollectie | gahetna.nl |
Tim Nasiona Hindia-Belanda sedang berfoto bersama di Amsterdam bersama pada pejabat Belanda setelah mengikuti Piala Dunia di Perancis tahun 1938
![]() |
Sumber: KNVB Fotocollectie | gahetna.nl |
Achmad Nawir (kapten kesebelasan Hindia-Belanda) di sebelah Puck van Heel (kapten kesebelasan Belanda) saat pertandingan persahabatan antara Hindia-Belanda dengan Belanda pada 26 Juni 1938.
Foto-foto ketika Hindia-Belanda kebobolan.
![]() |
Sumber: KNVB Fotocollectie | gahetna.nl |
![]() |
Sumber: KNVB Fotocollectie | gahetna.nl |
![]() |
Sumber: KNVB Fotocollectie | gahetna.nl |
Gambar-gambar ini merupakan pertandingan persahabatan antara Hindia-Belanda melawan Belanda di Stadion Olimpiade, Amsterdam, pada 26 juni 1938. Adu laga berakhir 9-2 untuk Belanda.
Sumber/penerbit video : Dutch Docu Channel
Foto-foto Jembatan Merah Surabaya tempo dulu yang berhasil admin himpun dari commons.wikimedia.org
![]() |
De Willemskade langs de Kali Mas, Soerabaja | commons.wikimedia.org |
Kali Mas Surabaya yang terlihat Jembatan Merah di ujung.
Foto sekitar tahun 1870 - 1892.
![]() |
De Roode Brug over de Kali Mas bij de Willemskade, Soerabaja | commons.wikimedia.org |
Suasana Jembatan Merah Surabaya sekitar tahun 1880-1900
![]() |
De Rode brug in Soerabaja ten tijde van de kroningsfeesten van Koningin Wilhelmina in 1898 | commons.wikimedia.org |
Arti: Jembatan Merah di Surabaya pada saat penobatan Ratu Wilhelmina tahun 1898
![]() |
De Roode Brug en de Handelstraat in Soerabaja | commons.wikimedia.org |
Suasana Jembatan Merah antara tahun 1920 - 1931. Tampak sudah ramai kendaraan mesin roda 4.
![]() |
Luchtfoto van Soerabaia, in het midden de Roode Brug over de Kali Mas | commons.wikimedia.org |
Kota Surabaya dari atas yang dipotong oleh Sungai Kali Mas, terlihat di tengah-tengah ada Jembatan Merah. Foto sekitar tahun 1940.
Tentang Jembatan Merah Surabaya
Jembatan Merah merupakan salah satu monumen sejarah di Surabaya, Jawa Timur yang dibiarkan seperti adanya: sebagai jembatan. Jembatan yang menjadi salah satu judul lagu ciptaan Gesang ini, semasa zaman VOC dahulu dinilai penting karena menjadi sarana perhubungan paling vital melewati Kalimas menuju Gedung Karesidenan Surabaya, yang sudah tidak berbekas lagi.
Kawasan Jembatan Merah merupakan daerah perniagaan yang mulai berkembang sebagai akibat dari Perjanjian Paku Buwono II dari Mataram dengan VOC pada 11 November 1743. Dalam perjanjian itu sebagian daerah pantai utara, termasuk Surabaya, diserahkan penguasaannya kepada VOC. Sejak saat itulah Surabaya berada sepenuhnya dalam kekuasaan Belanda. Kini, posisinya sebagai pusat perniagaan terus berlangsung. Di sekitar jembatan terdapat indikator-indikator ekonomi, termasuk salah satunya Plaza Jembatan Merah.
Perubahan fisiknya terjadi sekitar tahun 1890-an, ketika pagar pembatasnya dengan sungai diubah dari kayu menjadi besi. Kini kondisi jembatan yang menghubungkan Jalan Rajawali dan Jalan Kembang Jepun di sisi utara Surabaya itu, hampir sama persis dengan jembatan lainnya. Pembedanya hanyalah warna merah.
Sumber: Wikipedia
Langganan:
Komentar
(
Atom
)
About Me
Popular Posts
-
Jembatan Merah Surabaya Tempo Dulu
Foto-foto Jembatan Merah Surabaya tempo dulu yang berhasil admin himpun dari commons.wikimedia.org De Willemskade langs de Kali Mas, Soeraba... -
Ketika Soekarno (muda) Ditolak Cintanya
Oleh Ridwan Hd. Ilustrasi dari Film Soekarno (2013) Usianya 18 tahun. Impian terbesar pemuda pribumi itu adalah bisa memiliki gadis Belanda ... -
Tata Kota tentang Hakikat Manusia
oleh Salim A. Fillah Tugu Jogja yang di foto oleh Th. van de Burgt pada Desember 1948. Sumber: Het Nationaal Archief | gahetna.nl “Yogya it... -
Upaya Belanda menduduki Indonesia pada 1946 dalam Video Warna
Sumber/penerbit video : Dutch Docu Channel Link : https://www.youtube.com/watch?v=NZvM9rTXqwY&spfreload=5 -
Tentang Negeri-negeri di Andalusia
Oleh Fahmi Mudaliyanto Benteng Palacio de La Aljafer a warisan peradaban Islam di Spanyol | sumber: gambar bebas google picture Layaknya se... -
Mengenal Jong Islamieten Bond – Bagian 2
Oleh Ridwan Hd. Baca sembelumnya: Mengenal Jong Islamieten Bond - Bagian 1 Ada beberapa hal menarik yang disampaikan Kasman Singodimedjo da... -
Pertandingan Sepakbola Hindia-Belanda Melawan Belanda pada 1938
Sumber: KNVB Fotocollectie | gahetna.nl Tim Nasiona Hindia-Belanda sedang berfoto bersama di Amsterdam bersama pada pejabat Belanda setelah ... -
Jemaah Haji (1884)
Foto diatas menampilkan dua orang jemaah haji dari Indrapura (Pesisir Selatan) dan Muko-muko (Bengkulu) yang dipotret di Konsulat Belanda di... -
Masa Muda Roem di STOVIA
Oleh Ridwan Hd. Mohammad Roem di Konfrensi Inter Indonesia pada 1949 di Jogjakarta | sumber: media-kitlv.nl Masa perploncoan siswa baru di a... -
HAJI: Manusia Berbahaya
Oleh Salim A. Fillah “..Kabar-kabar tentang Paduka telah sampai pada kami bersinar bagai permata. Tetapkanlah hati. Paduka akan beruntung j...
Labels
- Agus Salim
- Batavia
- Budaya Islam
- Budi utomo
- Dunia
- Dunia Islam
- Dunia Modern
- Foto
- Hamka
- Headline
- Hindia-Belanda
- Kebangkitan Nasional
- Kemerdekaan
- Ki Hajar Dewantara
- KNIL
- Mohamad Natsir
- Mohammad Roem
- Mozaik
- Nasionalisme
- Nusantara
- Nusantara Lama
- Nusantara Modern
- Pancasila
- Perang Dunia I
- Portugis
- Sarekat Islam
- Soekarno
- Soekiman
- Tjokroaminoto
- Tokoh
- Umayyah
- Video