Cat-1

Cat-2

Cat-3

Cat-4

» » » Kantong Tipis Mantan Perdana Menteri

Oleh Ridwan Hd


Amien Rais bercerita. Kesan yang tak pernah ia lupakan tentang Mohammad Natsir adalah kesederhanaan. Meski spernah menjadi perdana mentri, ketua umum Partai Masyumi beberapa periode, hingga Presiden Muktamar Islam se-Dunia, kehidupannya seperti rakyat biasa. Tak ada kemewahan yang terlihat di dalam dirinya.

Amien Rais juga heran. Ketika Natsir keluar dari tahanan orde lama, mencari rumah adalah masalah yang dihadapinya. “Nampaknya, ketika jadi mentri penerangan dan perdana mentri, serta ketika memimpin Partai Masyumi, ia tidak sempat memikirkan rumah.” duga Amien Rais yang ia tuliskan di buku Pak Natsir 80 Tahun.

Mantan Ketua MPR RI ini pernah mendengar cerita tentang sosok sederhana yang pernah jadi gurunya itu. Pernah suatu ketika salah seorang tokoh Muhammadiyah dari Banjarmasin mengalami kehabisan bekal pulang saat di Jakarta. Tak sungkan ia mencoba meminjam uang kepada sahabatnya yang saat itu sedang menjabat Perdana Mentri Republik Indonesia. Sunggu diluar dugaan jawaban Natsir, “Kalau mau pinjam uang pribadi kebetulan saya tidak punya. Tetapi saudara bisa pinjam uang dari majalah hikmah yang saya pimpin. Nanti pinjaman itu diperhitungkan dengan majalah hikmah.”

Cerita yang didengar Amien Rais ini membuatnya seperti tidak percaya. “Bagaimana mungkin seorang yang menduduki jabatan demikian tinggi sampai tak mempunyai uang?” tulis Amien Rais

Kalau Amie Rais mendengar dari cerita, George Mc Turan Kahin, guru besar dari Universitas Cornell dan terkenal dengan bukunya yang berjudul Nationalism and Revolution in Indonesia, melihat sendiri kesederhanaan Natsir.

“Dia tidak bakal berpakaian seperti seorang mentri,” kata Agus Salim kepada Kahin ketika ingin berkunjung ke kantor Kementrian Penerangan untuk bertemu Natsir di Yogyakarta pada 1948.

Apa yang dikatakan Agus Salim memang benar. Keesokan harinya Kahin menemukan seseorang yang sederhana dan rendah hati. Pakainnya tak menunjukkan sebagaimana layaknya seorang pejabat pemerintahan. “Malah ia memakai kemeja yang bertambalan, yang belum pernah saya lihat pada pegawai manapun dalam satu pemerintahan dimana kesederhanaan berpakaian berlaku sebagai suatu norma.” kenang Kahin dalam buku untuk memperingati 70 Tahun Mohammad Natsir.

Dari pengalaman kunjungan ke kantor Kementrian Penerangan, Kahin juga mendapat informasi bahwa para staf di kantor tersebut pernah membantu membelikan pakaian beberapa pasang kepada Natsir. Mereka sengaja membelikan agar atasannya bisa memakai pakaian yang layak ketika menghadiri acara-acara penting.

Memang, persoalan harta dan kekayaan bukan menjadi godaan Natsir sejak muda. Sejak lulus dari sekolah AMS dengan nilai yang memuaskan, sebenarnya Natsir berhak melanjutkan beasiswa ke perguruan tinggi atau bekerja sebagai pegawai pemerintah dengan gaji yang mapan. Namun itu tidak dipilihnya. Mejadi guru, membangun sekolah, menulis di surat kabar, dengan bertempat tinggal di gudang bangunan sekolah yang didirikannya, menjadi pilihan hidup Natsir masa muda. “Aba ingin berkhidmat dengan Islam,” kata Natsir ketika berkirim surat kepada istri dan anak-anaknya di tahun 1958 untuk mengenang masa lalunya.

Didikan kesederhanaan juga dikenang kuat oleh Anaknya, Siti Muchliesah. Di Majalah Tempo Seri Tokoh yang berjudul Natsir, Politik Santun di antara Dua Rezim, ia bercerita bahwa ayahya pernah menolak pemberian mobil dari seseorang.

Siti Muchliesah dan adik-adiknya sempat bergembira karena mobil Chevrolet Impala yang terpakir di depan rumahnya bakal menjadi milik mereka. Ia mendengar percakapan sang ayah dan tamunya yang berniat untuk memberikan mereka mobil yang terbilang wah pada tahun 1956. Saat itu, Natsir hanya memiliki mobil yang sudah kusam bermerek Desoto. Satu-satunya mobil yang dimiliki meski pernah menjabat mentri penerangan dan perdana mentri. Alasan mobil yang sudah “butut” itu menjadi keinginan sang tamu untuk membantu Natsir.

Harapan anak-anak Natsir itu buyar. Sang Ayah menolak pemberian itu. “Mobil itu bukan hak kita, lagi pula yang ada masih cukup.” kata Natsir kepada anak-anaknya.

Kata-kata ini begitu membekas di hati Siti Muchliesah. Orangtuanya memang sering berpesan kepada mereka, “Cukup yang ada. Jangan cari yang tiada. Pandai-pandailah mensyukuri nikmat.”

Aru Syeif Assad, salah satu pengurus di Dewan Dakwah Islamiyah (DDI), juga pernah menceritakan ketakjubannya tentang Natsir di buku Pemimpin Pulang.

Sekitar 1980, Natsir mendapat penghargaan King Faishal Award atas dedikasinya di dunia dakwah Islam. Seorang raja yang sampai harus ikut berdiri ketika Natsir masuk ruangan dalam sebuah acara memberikannya secara langsung penghargaan itu. Penghargaan yang diberikan bukan sekedar piagam, namun juga beserta sejumlah uang dari sang raja yang terbilang tidak sedikit.

Kembali ke Indonesia, Natsir langsung mengajak seluruh karyawan DDI berkumpul. Kepada seluruh karyawan ia hanya menanyakan tugas yang diemban masing-masing. “Semua karyawan seusai pertemuan menjadi bertanya-tanya apa maksud pertemuan ini sebenarnya?” tanya Aru Syeif Assad ketika itu.

Natsir hanya mendorong mereka agar semakin serius bekerja menangani permasalahan dakwah yang sedang dihadapi. Setelah acara selesai dilakukan foto bersama. Selanjutnya, bagian keuangan dari masing-masing unit memanggil para staf satu per satu. Mereka kaget. Ternyata mereka dibagikan amplop tebal yang berisi uang. Jumlahnya pun dua kali dari gaji mereka. Diketahui, uang tersebut berasal dari Raja Faishal yang diberikannya kepada Natsir. Namun, Natsir tak mau menyimpannya. Ia lebih berkenan membagikan kepada para karyawannya di DDI.

“Sejak saat itu saya mulai mengetahui kebiasaan Pak Natsir dengan uang.” lanjutnya bercerita. Tak hanya dari Raja Faishal, setiap Natsir mendapat kunjungan tokoh atau pemimpin negara dari Timur Tengah selalu mendapat sumbangan uang yang sebenarnya untuk pribadi. Tetapi, Uang itu selalu diserahkannya ke bagian keuangan DDI. Begitu juga dengan uang tunjangan pensiun dari jabatan Mentri Penerangan dan Perdana Mentri. Penanggung jawab keuangan DDI-lah yang mengambil rutin. Semua dana yang diperoleh Natsir ia sumbangkan untuk lembaga dakwah yang ia dirikan bersama para tokoh Masyumi pada 1967.
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

About the Author Admin

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

Perform

video

Feature

Cat-5

Cat-6