Baca sembelumnya: Mengenal Jong Islamieten Bond - Bagian 1
Ada beberapa hal menarik yang disampaikan Kasman Singodimedjo dalam pidatonya kepada pengurus JIB di Batavia tahun 1925 yang dicantumkan di buku Hidup itu Berjuang; Kasman Singodimedjo 75 Tahun. Pertama, kritiknya kepada generasi muda intelektual didikan sekolah Belanda yang tidak sungguh-sungguh menguasai bahasanya sendiri. Banyak anak-anak Jawa yang tak menguasai bahasanya, begitu juga suku Sunda, Melayu, dan lainnya. Di Jong Java sendiri, meski organisasi pemuda kejawaan justru menggunakan bahasa Belanda. Ini juga yang menjadi alasan JIB yang terpaksa menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa persatuan di lingkungan organisasi yang banyak dari berbagai suku bangsa.
Ada beberapa hal menarik yang disampaikan Kasman Singodimedjo dalam pidatonya kepada pengurus JIB di Batavia tahun 1925 yang dicantumkan di buku Hidup itu Berjuang; Kasman Singodimedjo 75 Tahun. Pertama, kritiknya kepada generasi muda intelektual didikan sekolah Belanda yang tidak sungguh-sungguh menguasai bahasanya sendiri. Banyak anak-anak Jawa yang tak menguasai bahasanya, begitu juga suku Sunda, Melayu, dan lainnya. Di Jong Java sendiri, meski organisasi pemuda kejawaan justru menggunakan bahasa Belanda. Ini juga yang menjadi alasan JIB yang terpaksa menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa persatuan di lingkungan organisasi yang banyak dari berbagai suku bangsa.
Kedua, generasi muda intelektualnya telah hidup dengan gaya keeropaan. Dengan gaya seperti ini telah menjauhkan diri dari kehidupan rakyat. Sikap keeropaan ini telah menjadikan generasi mudanya merasan tinggi dengan menjadi eropa dan merendahkan sikap dan budaya rakyat yang sebenarnya adalah tempat mereka berasal.
Lalu yang ketiga, “adalah kenyataan yang pahit menyedihkan bahwa kita buta sama sekali terhadap hati nurani rakyat.” ucapnya. Didikan keeropaan di sekolah-sekolah Belanda telah menjauhkan mereka dari rakyat. Tak hanya itu, nilai dasar kebudayaan dan agama pun juga mulai ditinggalkan. Kalimat “Kembali Kepada Rakyat” menjadi penekanan yang kuat pada pidato Kasman.
Maka dari itu, pada penggalan pidato selanjutnya Kasman berucap, “Kita pemuda-pemuda Islam yang tergolong dalam golongan intelektual Islam haruslah tidak lagi menjadi orang asing terhadap Islam. Bahkan keterasingan itu harus berganti menjadi kesadaran bahwa kita justru bisa menjadi pemimpin dan penganjur Islam bagi rakyat.”
Program-program JIB mulai berjalan hingga tahun-tahun berikutnya. Program-programnya antara lain penerbitan majalah, pengadaan perpustakaan, kursus-kursus dan ceramah, olahraga, dan sebagainya. Organisasi ini semakin serius dikembangkan ketika pada tahun 1927 JIB mendirikan suatu Kern Lichaam sebagai lembaga inti. Lembaga ini ini di isi oleh orang-orang yang lebih mengetahui soal Islam agar bisa menjadi sarana untuk merencanankan dan mengusahakan kegiatan-kegiatan pendidikan untuk anggota yang lain. Tercatat yang pernah berada di Kern Lichaam adalah Mohammad Natsir dan Kasman Singodimedjo.
Keanggotaan JIB sendiri terdiri dari kalangan pemuda yang rata-data berumur 17 – 30 tahun. Sebagian besar adalah anak-anak yang bersekolah di tingkat MULO, AMS, HIK, dan perguruan tinggi. Karena latar belakangnya adalah perkumpulan pemuda yang terdidik dari sekolah-sekolah Belanda, pemuda-pemuda dari kalangan pesantren atau madrasah tidak ada yang menjadi anggota. Juga, organisasi ini hanya ditemui di kota-kota besar yang memiliki sekolah-sekolah tersebut. Di tahun 30-an cabang-cabang JIB sudah merambah kota-kota besar di luar Pulau Jawa, tercatat Kota Raja, Medan, Padang, Bukittinggi, Palembang, Makassar hingga Ambon dengan anggotanya mencapai 4.000 orang.
Jika pada masa itu organisasi-organisasi pemuda masih bersifat kedaerahan dengan semangat lokalitas budaya, maka JIB dianggap sebagai pelopor organisasi pemuda yang lepas dari ikatan daerah. Semangat Islam-lah yang menyatukan mereka dari kumpulan beberapa suku daerah.
Dalam surat kabar Het Licht November 1927 yang dikutip Deliar Noer. Wiwoho, Ketua JIB di kongres JIB ke 3 di Yogyakarta, menegasan bahwa JIB terlah berhasil berbuat nyata melenyapkan rasa kedaerahan dan menggantikannya dengan rasa ke Indoesiaan.
Di buku Api Sejarah, Ahmad Mansur Surya Negara juga menuliskan peran JIB dalam persatuan nasional. Menurutnya JIB memiliki pengaruh besar dalam proses terjadinya Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928 yang kini dikenal dengan Sumpah Pemuda. “Kebangkitan Jong Islamieten Bond dengan melepaskan diri dari Jong Java membangkitkan perjuangan menegakkan nasionalisme Indonesia.” tulis Mansur.
Selama ini Jong Java hanya perkumpulan pemuda yang hanya bersifat kejawaan. Mansur juga menuliskan bahwa Jong Java sebagai sayap pemuda dari Boedi Oetomo tak mempunyai cita-cita persatuan nasional. Berbeda dengan JIB yang berhasil menghimpun pemuda-pemuda terdidik dari berbagai daerah di wilayah Nusantara. Tercatat pada kongres pertama JIB, Desember 1925, telah memilki 1.000 anggota di 7 cabang. Mansur juga menjelaskan, JIB menginspirasi lahirnya Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI) yang menjadi penggerak utama terjadinya Kongres Pemuda II.
Selain program-program yang disebutkan di atas, pada tahun 1926 atau setahun setelah JIB berdiri, Kasman Singodimedjo bersama Mohamad Roem mendirikan badan kepanduan di bawah JIB bernama Natioonal Indonesische Padvinderij(Natipij). Natipij memang organisasi kepanduan seperti biasa yang memiliki kegiatan adu tangkas dan mental bagi para pemuda-pemuda. Kegiatannya sama halnya dengan kepanduan pada umumnya. Namun, yang membedakan adalah adanya kewajiban mempelajari dan mentaati ajaran Islam bagi para anggotanya. “yang menarik dari nama Natipij ini ialah penyebutan ‘Nationaal Indonesische’ (kebangsaan Indonesia).” tulis juga Deliar Noer.
Kasman juga mengatakan dalam Hidup itu Berjuang; Kasman Singodimedjo 75 Tahun, bahwa dengan berdirinya IIB dan Natipj merupakan perintisan nyata dari gagasan-gagasan dan pengertian Sumpah pemuda yang dicetuskan pada 28 Oktober 1928. Kasman Singodimedjo sendiri diangkat menjadi Ketua JIB pada 1930 – 1935.
Deliar Noer juga mengungkapkan, “Bahwa kedua organisasi tersebut banyak sedikitnya telah berhasil menghambat sebagian pelajar dan mahasiswa Indonesia yang beragama Islam lari dari agama mereka.”