Cat-1

Cat-2

Cat-3

Cat-4

Juni 2016

Oleh Uman Miftah S
Sebuah lukisan benteng di luar Batavia yang dibuat tahun 1709 menyebut nama Jacatra | Sumber: geheugenvannederland.nl

Ada keajaiban dalam Pengusiran Portugis di Sunda Kelapa. Pasukan Portugis mengalami musibah alam di saat Sunan Gunung Jati dan direstui para Wali Songo memerintahkan pasukan Demak di bawah pimpinan Fatahillah menyerang mereka. (Baca juga: Merebut Sunda Kelapa - Bagian 1)


Penulis kronik terkenal asal Portugis, Diogo di Couto, sebagaimana dikutip Claude Guillot dalam Banten, Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII menceritakan, “…Fransisco de Sa berlayar menuju Sunda untuk membangun sebuah benteng. Selama Pelayarannya, armada yang ia pimpin diserang badai sehingga kapal-kapalnya terpencar-pencar selama beberapa hari. Tiga diantaranya, sebuah kapal yang besar pimpinan Duarte Coelho serta dua kapal lainnya, dengan susah payah berhasil mencapai pelabuhan sunda. Pada waktu terserang badai itulah salah satu kapalnya terdampar, dan ketiga puluh orang Portugis yang ada di dalamnya berenang menuju daratan, tetapi di pantai itu mereka dibunuh oleh musuhnya, orang-orang Islam.


“Fransisco de Sa beserta kapalnya terbawa badai sampai di pantai Jawa. Ia berhasil menghimpun kembali kapal-kapalnya di Pelabuhan Panarukan, dan membawa armadanya menuju pelabuhan ‘Bata’ untuk berlabuh. Ia mengirim utusan untuk memperingatkan raja akan janji yang pernah diberikan oleh para pendahulunya. Dihadapkan pada penolakan raja, Fransisco de Sa memutuskan untuk menyerang, tetapi di daratan ia menghadapi pertahanan yang begitu kuat –diantara pasukan Portugis empat orang terbunuh dan sejumlah orang lainnya luka-luka- sehingga ia mengundurkan diri dan kembali ke Malaka”.


Pasukan Demak mendapat kemenangan. Sejak peristiwa itu pelabuhan Sunda Kelapa dirubah namanya oleh Fatahillah menjadi Jayakarta. Makna kata ini sesuai dengan surat Al Fath ayat 1 yang memang sumber inspirasinya. Yakni “Kemenangan paripurna bagi umat islam”. “Sesungguhnya kemenangan ini adalah kemenangan yang sempurna (innaa fatahnaa laka fathan mubiinan).


Fatahillah sendiri adalah pemuda dari Samudera Pasai. Ia menikah dengan adik Sultan Trenggana yaitu Ratu Pembayun, janda Pengeran Jayakelana, putra Sunan Gunung Jati. Terdapat berbagai macam pendapat tentang siapa sebenarnya Fatahillah sebagaimana tercantum dalam catatan Portugis. Hoesen Djajadiningrat dalam Tinjauan Kritis Sejarah Banten yang terabit pada tahun 1913 menyatakan bahwa Fatahillah merupakan Sunan Gunung Jati. Pendapat beliau diamini oleh Bernad HM Vleke.


Sementara HJ de Graaf, Ahmad Mansur Suryanegara, Soejtipto Abimanyu, Uka Tjandrasasmita, hingga dalam buku Induk Sejarah Nasional sepakat bahwa Fatahillah bukanlah Sunan Gunung Jati. Ia adalah Fadhilah Khan sebagaimana tercatat dalam Carita Purwaka Caruban Nagari. Bahkan HJ de Graaf menduga Fatahillah merupakan Mu La Na Fu Di Li Ha Na Fi sebagaimana tercantum dalam Catatan Sejarah Melayu. “Namun Fu Di Li Ha mirip Fadhilah, sebuah nama bagi pembantu perang Sunan Gunung Jati yang juga disebut sebagai Ratu Pasai menurut carita Caruban.” tulisnya.


Bagi Fatahillah dan pasukan Demak, merebut Sunda Kelapa adalah perjuangan suci (jihad fisabilillah) melawan imperialis Portugis. Kemenangan mereka bukan persoalan kehebatan tentaranya, tapi berkat pertolongan yang Maha Kuasa memberikan keajaibannya yang bagi Portugis hanyalah bencana alam berupa badai semata meski menghancurkan. Dr. Muhammad Ali menyatakan, akibat serangan Portugis dan keberhasilan merebut kembali Sunda Kelapa ke tangan Penguasa Islam mampu mengamankan Nusantara selama 200 tahun dari usaha penjajahan Portugis. Hanya satu wilayah Indonesia yang lemah yang dapat dikuasai oleh Portugis, yakni Timor Timur, karena disini belum berdiri kekuasaan politik Islam.


Sebagai penutup, Fatahillah dan Sunan Gunung Jati memberikan pesan kepada generasi penerusnya yang beliau tuangkan dalam bentuk bendera.
Bendera Fatahillah | sumber: cirebontrust.com
Keterangan Bendera fatahillah | sumber: Menemukan Sejarah, Ahmad Mansur S
Pertama, mengimani adanya Allah swt. Dengan rumusannya ditunjukan oleh keterangan nomor 1, yakni surat Al Ikhlas ayat 1-4 dan diperkuat oleh surat Al An’am ayat 100-103 (nomor 2), serta lafadz bismillaahirrahmaanirrahiim pada keterangan nomor 3

Kedua, keimanan yang demikian itu mempercepat proses datangnya pertolongan Allah swt, dan umat islam akan menggenggam ketenangan di tangannya (gambar nomor 4 surat As Shaff ayat 13)


Ketiga, gambar nomo 5 (harimau), nomor 6 (ya Muhammad, bintang dan Allah, Allah dan Muhammad), dan nomor 7 (pedang dzulfikar). Kemenangan ini yang mengantarkan umat Islam ke jenjang kekuasaan. Umat islam dilambangkan kuat laksana harimau yang sangat berpengaruh. Berpandangan dengan pandangan Allah, berjalan atas dasar kekuatan dari Allah (dibentuk dengan kaligrafi laahaula walaa quwwata ilaa billaah), berpikir dalam kerangka laa ilaaha illallaah.


Keempat, kekuasaan itu tidak digenggamnya sendiri. Tetapi dilakukan atas asas musyawarah. Hasilnya dilambangkan dengan harimau kecil loyal dan kooperatif berdiri di belakangnya, mengamankan amanat yang diberikan dengan lambing empat segi simetris (nomor 8).

Kelima, kekuasaan yang dilaksanakan atas dasar iman kepada Allah dan Rasul-Nya akan terjaga aman laksana diapit oleh dua pedang (nomor 7). Dan umat Islam menggunakan pedang ini untuk dua kepentingan fisik dan social (tepian bendera berbentuk segi lima, gambar nomor 9)
Oleh Uman Miftah S
Sebuah lukisan yang dibuat tahun 1725 dengan judul menyebut "Lacatra" (Jayakarta) nama sebelum Batavia | Sumber: geheugenvannederland.nl

“Perjanjian itu dibuat secara tertulis,” kata penulis kronik terkenal asal Portugis, Joao de Barros, “tiga orang menteri setempat turut ambil bagian dalam pembicaraan tersebut: ‘Mandari Tadam, tamungo Sague de Pate dan Bengar, syah bandar setempat.’ Atas perintah raja, mereka mengantar Leme ke tempat akan dibangunnya benteng tersebut di sebelah kanan   muara sungai, di kawasan yang dinamai Calapa.” lanjutnya sebagaimana dikutip oleh Claude Duillot dalam Banten, sejarah dan Peradaban abad X-XVII.

Ia melanjutkan penuturannya, “…orang Portugis diberi hak membangun sebuah benteng dan dijamin bahwa mereka boleh memuat lada sejumlah yang mereka kehendaki. Selain itu raja berjanji memberikan 1.000 kantong lada setiap tahunnya kepada Raja Portugis mulai hari dibangunnya benteng tersebut….”

Awal abad keenam belas ketenangan Nusantara terusik. Perdagangan antar negara yang tenteram menjadi panas seketika. Portugis datang dengan berkedok  memberikan bantuan kepada para raja. “Kedatangan Portugis di benua India secara tiba-tiba memang mengakhiri sistem pelayaran yang damai yang menandai kawasan ini,” kata K.N. Chaudhuri sebagaimana dikutip oleh Prof. Uka Tjandrasasmita dalam Arkeologi Islam Nusantara.

Berbagai catatan Portugis menyatakan bahwa mereka datang ke wilayah Nusantara hanyalah untuk berdagang. “Bahkan,”  tulis Joao de Barros dengan sombong, “Portugis adalah pedagang murni. Tanpa pernah berniat melakukan agresi militer”.

Prof Ahmad Mansur Suryanegara dalam Menemukan Sejarah dengan tegas menolak gagasan tersebut. “Kenyataannya kedatangan bangsa Portugis ke Asia dengan kapal kosong. Kapal ini diisi dengan batu guna mencegah agar tidak terlalu oleng. Mereka tidak meniatkan dagang sebagai lazimnya orang berdagang, melainkan memperlengkapi kapal mereka dengan meriam. Itulah sebabnya lebih tepat kalau kedatangan Portugis saat itu bertujuan untuk merampok.”

Tentu pendapat Prof. Ahmad Mansur Suryanegara ini bukanlah tanpa dasar.  Ia menyandangkan kesimpulannya pada tulisan Prof. Dr. J. M. Romein berjudul Aera Eropa: Peradaban Eropa Sebagai Penyimpangan dari Pola Umum yang telah diterjemahkan Noer Tugiman.

Sebelum datang ke Sunda Kelapa Portugis terlebih dahulu merampok Indonesia wilayah Timur. Pada tahun 1511 Malaka merupakan tempat perdagangan untuk kerajaan lokal maupun internasional. Banyak kerajaan dari wilayah diluar Nusantara yang telah mempunyai hubungan baik dengan mereka. Diantaranya Persia, India, Cina, Demak, dan daerah-daerah lain. Akan tetapi, sejak dikuasainya Malaka oleh Portugis  mereka mulai menghindari wilayah itu. “Hal ini disebabkan politik Portugis yang hendak memaksakan sistem monopoli kepada pedagang-pedagang yang telah biasa dengan sistem perdagangan bebas,” kata Marwati Djoened Poesponegoro dalam buku Induk Sejarah Nasional Indonesia.

Bernard H. M. Vlekke dalam Nusantara mencatat pada 1513 seratus kapal dengan sepuluh ribu tentara Demak gagah berani melawannya. Namun apa daya, Portugis unggul, penguasa demak gugur.

Berhasil menguasai Malaka, Portugis mengutus Henrique Leme untuk melakukan perjanjian dengan Raja Sunda. Ini merupakan perjanjian pertama kerajaan Jawa dengan bangsa asing. Tentu sikap baik yang diambil raja Jawa bukanlah tanpa alasan. Buku induk Sejarah Nasional Indonesia pada halaman 36 mencatat setidaknya ada dua alasan mengapa raja sunda melakukan perjanjian dengan Portugis, “Pertama untuk hubungan dagang dan yang kedua untuk mendapat sahabat dalam menghadapi kekuatan Demak yang pada waktu itu sedang mengadakan ekspansi ke Jawa Barat,”. Argumen kedua kemungkinan hasil tipu muslihat Portugis kepada Raja Pajajaran yang memang berambisi mengeruk sumber daya wilayah Nusantara bagian Barat.

Perjanjian antara Pajajaran dengan Portugis pun dibuat. Meskipun sejarawan mencatat banyak wilayah bawahan Pajajaran yang menyesalkan keputusan sang raja. Mereka merasa tak pantas bangsa kita mengadakan persekutuan dengan bangsa asing yang bahasa dan kebudayaannya jauh berbeda.

Jika melacak catatan kerajaan Sunda (Pajajaran), Surawisesa, Putera dari Sri Baduga Maharaja (Prabu   Siliwangi), pernah pergi ke Malaka dan kemungkinan besar bertemu dengan Portugis dua kali pada tahun 1512 dan 1521. Catatan Portugis menyebutnya “Re de Zunda” (Raja Sunda). Pada kepergian pertama pada 1512 Surawisesa belum menjadi raja. Ia masih seorang Ratu di Sangiang yang wilayahnya meliputi Jatinegara hingga Sungai Marundra. Satu tahun kemudian Sri Baduga Maharaja meninggal, ia diangkat sebagai raja. Lalu melakukan Perjanjian dengan Portugis di daio (dayeuh).  Kesimpulan ini didasarkan pada analisis Saleh Danasasmita dalam Melacak Sejarah Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi.

Kehadiran bangsa asing Portugis rupanya menyulut api jihad para ulama. Kehadirannya tak hanya merugikan penduduk lokal secara ekonomi dan kemanusiaan tetapi juga agresi militer yang dilancarkan meresahkan keamanan. Maka, Sunan Gunung Jati memerintahkan menantunya, Fatahillah, untuk bertempur hadapi Portugis merebut Sunda Kelapa.

Dengan teknik perang khas orang Nusantara sebagaimana dicatat dalam buku Induk Sejarah Nasional, yakni dengan serangan tiba-tiba atau bergerilya. Pada 1527 (sebagian sejarawan mencatat antara 1526 atau 1527) Fatahillah berhasil mengusir Portugis dari bumi Jawa. Penyerangan dilakukan malam hari dengan teknik penyergapan.

Sementara armada yang digunakan oleh pasukan Fatahillah kemungkinan besar merupakan jung model Tiongkok Dinasti Ming yang mampu memuat 400 orang prajurit atau 100 ton muatan. Sebagaimana diberitakan dalam Catatan Tahunan Malayu: Teks Parlindungan dan Terjemahan dalam buku Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI karya H. J. de Graaf. Prof Uka Tjandrasasmita menuliskan bahwa penyerangan berlangsung dari arah barat pada tanggal 22 Juni1527. Berdasar keterangan Dr. Sukanto terhadap hari peristiwa penyerang itu, DPRD  dan Gubernur DKI Jakarta, Sudiro, mengesahkan sebagai hari jadinya Jakarta pada 1956.

Bersambung Merebut Sunda Kelapa (Bagian 2)
Beberapa pilihan foto-foto kenangan Presiden Soekarno semasa hidupnya.

Saat jadi komandan Romusha di masa Jepang | Foto: Fotoleren

Foto keluarga, dari kiri: Soekarno, Megawati, Guntur, dan Fatmawati. Tahun 1949 | Foto: Getty Images

Sungkem ke ibu Soekarno, Ida Ayu Nyoman Rai, 1946 | Foto: John Florea - LIFE

Bebronceng sepeda dengan Ibu Fatmawati di India 1950 | Foto: Fotoleren

Berdansa dengan Mrs. Howard P. Jones (Istri Dubes AS) di Jakarta 1959 | Foto: Getty Images 

Bermain Dumbo dengan anak, Guntur, di Disneyland, California AS 1956 | Foto: Corbis

Tanpa kopiah bersama Hartini, istri ke empat, di Istana Bogor 1965 | Foto: Getty Images

Membawa anak-anaknya, Guntur dan Megawati, ke New York tahun 1961 | Foto: Getty Images

Sedang santai bercanda di Athena, Yunani, tahun 1965 | Foto: Fotoleren

Tanpa kopiah di Istana Negara tahun 1967 | Foto: Fotoleren

Oleh @RidwanHd
jama'ah Haji dari Mandailing di kedutaan Hindia Belanda di Jeddah tahun 1883 | Sumber: Tropemuseum

Surat kabar Swara Umum yang dipimpin Dr. Sutomo pada bulan Juni hingga Agustus 1930 secara berturut-turu memuat artikel yang menyentak umat Islam. Artikel yang ditulis oleh Homo Sum menjelaskan keraguannya terhadap manfaat pergi haji. Si penulis memandang ibadah haji adalah sebuah kerugian.

Seperti yang dikutip Deliar Noer di dalam Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, pada Swara Umum Tahun I No. 50 yang terbit 18 Juni 1930, Homo Sum mengatakan, “Kita tidak membantah bahwa orang yang akan pergi ke Mekkah itu belajar berhemat untuk menurutkan kehendaknya, karena keyakinanya, ia tidak mengingat lagi bahwa pergi meninggalkan tanah tumpah darah itu berarti menimbun modal sini untuk keuntungan orang lain.”

Kemudian Homo Sum juga memperbandingkan ibadah haji ke Mekkah dengan pembuangan para politikus ke Digul. Ia menganggap mereka yang dibuang ke Digul lebih bermartabat dari pada pergi haji.

Tambahnya lagi, Homo Sum juga menyayangkan banyak orang Indonesia menghilang di Mekkah. Pada No. 69 dituliskan, “Tahun ini kira-kira 29.000 orang pergi naik haji. Tetapi hanya 26.900 orang yang kembali, jadi kira-kira 2.100 orang tidak kembali .... Betapa banyak saudara kita sebangsa yang mati di negeri orang ... Agaknya jumlah 1.500 tidaklah terlalu berbeda dari yang sebenarnya. Apakah angka-angka ini tidak menyebabkan kita orang Islam sedih dan duka, disebabkan oleh payah harta dan payah jiwa karena kepercayaan kita?”

Pada No. 73 yang terbit 13 Agustus 1930, Homo Sum kembali menyudutkan umat Islam agar tidak mengikuti “Islam Arab”, melainkan “Islam yang sebenarnya”. Ia berkata, “Saudara-saudara Muslim, ingatlah Islammu yang sebenarnya, jangan buat kesalahan dengan menyembah berhala Arab!”

Homo Sum tidak menjelaskan maksud “Islam yang sebenarnya”, tetapi komentar pihak redaksi yang mendukung pemikiran Homo Sum menjelaskan, “... peringatan (Homo Sum) bukanlah yang pertama sampai kini. Dengan bangkitnya Islam (di Jawa) para wali membangun masjid Demak dengan maksud agar orang Islam di negeri kita tidak membuat kesalahan dengan mengarahkan muka mereka ke tanah Arab.”

Artikel-artikel Swara Umum atas nama Homo Sum menimbulkan reaksi keras dikalangan umat Islam. Surat kabar Swara Umum termasuk media yang hadir dari kalangan kebangsaan, atau juga disebut Nasionalis Sekuler. Dengan munculnya tulisan kritik tentang haji ini semakin memperuncing konflik antara kelompok kebangsaan dan kelompok Islam.

Salah satu tokoh yang menanggapi artikel tersebut adalah Dr. Soekiman Wirjosandjojo. Mantan ketua Perhimpunan Indonesia dan salah satu pejabat Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) ini menuliskan artikel bantahan di surat kabar Pembela Islam No. 13 pada Oktober 1930 dengan judul Tentangan Terhadap Agama Islam.

Sebelum masuk ke pokok permasalah, Soekiman menjelaskan, bahwa kritik harus memenuhi beberapa perkara, yaitu: orang yang mengkritik harus mengerti materi yang akan dikritik, dan kritik itu tidak boleh menyakitkan hati kepada yang dikritik. Bagi Soekiman kritik memang diperlukan agar mengetahui kekurangan. Ia berkata, “Dan juga kita orang Islam, orang-orang biasa saja, janganlah berpendapatan  bahwa kita selamanya ada dijalan kebenaran .... sebab itu kritik adalah perlu sekali bagi kita, tetapi kritik yang senonoh yang maksudnya tidak menentang azas agama.”

“Mekkah dan Digul,” Soekiman menjelaskan ke permasalahan utamanya, “adalah dua anasir yang tiada bisa dibandingkan.” Perbedaan itu menurut Soekiman terletak pada niatnya. Orang-orang ke Digul karena dipaksa akibat penahanan yang dilakukan pemerintah kolonial. Berbeda dengan ke Mekkah yang dilakukan berdasarkankeikhlasan hati untuk memenuhi perintah Agama. Digul memang terkenal sebagai tempat pembuangan tahanan politik yang melawan pemerintah Hindia Belanda. Bagi Homo Sum, orang-orang yang berada di Digul memiliki kemuliaan karena perjuangannya.

Begitu juga soal orang yang pergi ke Mekkah, dianggap Homo Sum kehilangan keyakinannya terhadap perjuangan dari pada yang berada di Digul. Soekiman menunjukkan, banyak juga haji-haji yang telah pergi ke Mekkah berada di Digul. Ia menyebutkan nama Haji Misbach.
Dalam kritik Homo Sum yang menyinggung persoalan ekonomi, Soekiman menjelaskan bahwa memang benar pergi ke Mekkah akan kehilangan sebagian materi dan harta.  Meski kehilangan harta, bukan berarti kehilangan manfaat dalam proses perjuangan Bangsa Indonesia, sebab kata Soekiman, “meninggalkan Indonesia buat sementara waktu adalah suatu perkara yang penting. Sebab dengan jalan ini kita bisa memperbandingkan nasib negeri kita dengan negeri luaran.”

Dengan bepergian ke Mekkah tak hanya semata-semata ibadah (haji) menjalankan Rukun Islam, tetapi juga terjadinya hubungan pertemuan dari semua bangsa yang merupakan cita-cita Islam dan cita-cita dunia, yaitu Damai Dunia , dan persaudaraan dengan berbagai bangsa di muka bumi. Apa yang dicita-citakan oleh bangsa kulit putih (kesetaraan ras dan persamaan hak) sebenarnya sudah dilakukan oleh umat Islam sejak 13 abad yang lalu.

Berada di Mekkah juga menjadi kesempatan warga Indonesia untuk merasakan berada di negeri yang merdeka. Orang-orang yang pernah merasakan menginjak di negeri yang merdeka dapat membandingkan dengan negerinya yang sedang terjajah. Dengan begitu akan menyadarkan para haji untuk berjuang melepaskan cengkraman penjajah. “Dengan jalan begini tentulah Indonesia lebih cepat mendapatkan kemerdekaan.” tulisnya. (Baca juga: Haji, Manusia Berbahaya)

Lalu Soekiman menyimpulkan, “Jika kita menyelidiki sedalam-dalamnya isi artikel itu, maka kita dapat menetapkan bahwa maksud artikel itu tiada lain melainkan: ANTI ISLAM.” Lalu ia meneruskan juga, “Mereka membicarakan hal-hal Mekkah itu sebenernya hanyalah buat menyebarkan perasaan anti Islam.”

Menurut Sejarawan Ahmad Mansur Suryanegara di dalam Api Sejarah jilid 2, bahwa artikel dari surat kabar yang dipimpin Dr. Soetomo itu sebagai upaya dukungan kepada pemerintah Hindia Belanda yang sedang mengeluarkan aturan pengetatan proses izin ibadah haji yang tertuang dalam Ordonasi Haji tahun 1927 Stb. No. 286. Ahmad Mansur juga menyimpulkan, berdasarkan dialog antara Dr. Soetomo dnegan K. H. Mas Mansoer yang dimuat dalam Madjalah Pengandjoer No. 6 Tahun II, Juli 1938, bahwa Homo Sum sebenarnya adalah Dr. Soetomo sendiri, pendiri Budi Utomo 20 Mei 1908.
Oleh Ridwan Hd
Para Anggota Sarekat Islam pada pertemuan di Blitar tahun 1914 | Sumber: Collection KITLV

Minggu pagi pada 18 Juni 1916 rakyat datang berduyun-duyun ke Alun-alun Bandung. Mereka ingin menyaksikan pidato Tjokroaminoto yang akan diselenggarakan pagi itu. “Pada saat yang ditentukan, datanglah anggota-anggota Pengurus Central Sarekat Islam dengan pakain rok, yaitu celana hitam, jas buka hitam, bagian belakang panjang sampai lutut, dengan dasi putih.” cerita Mohammad Roem dalam tulisannya di Bunga Rampai dari Sejarah jilid 1.

Kegiatan yang ada di Alun-alun Kota Bandung merupakan rangkaian acara yang bernama Kongres Nasional Pertama Central Sarekat Islam. Kongres yang dimulai pada 17 Juni dan berakhir 24 Juni 1916 seperti layaknya pesta rakyat yang sangat meriah. Diseluruh bagian alun-alun terdapat banyak tarup berderet yang menyajikan berabagai aneka makanan dan macam-macam barang kerajinan. Pada siang harinya diadakan perlombaan olah raga. Lalu malamnya diadakan pertunjukan bioskop atau wayang. Sorot lampu yang menyinari di malam harinya terangnya seperti siang hari. “Malah malam lebih menarik dengan lampion-lampion yang warna-warni,” kata Roem.

Soal kongres, sebenarnya ini bukan pertama kalinya bagi Sarekat Islam (SI). Pada tahun 1914, sudah pernah berlangsung kongres di Surabaya. Hanya saja, saat itu SI masih bersifat lokal. Sejak diizinkan berdiri secara badan hukum oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda pada 1912, SI tidak diizinkan memiliki pengurus terpusat meski sudah banyak cabang di berbagai kota seluruh Hindia Belanda. Baru setelah tahun 1914, izin itu keluar dengan dibentuknya Central Sarekat Islam (CSI).
Berlangsungnya kongres pertama di tahun 1916 ini sudah meliputi SI di seluruh Hindia Belanda. Maka dinamakan "Kongreas Nasional" yang dihadiri 80 utusan dari lokal SI wilayah Jawa, Sumatera, Kalimantan, Bali dan Sulawesi. Kata “Nasional” ini merupakan pertama kalinya digunakan oleh Bangsa Indonesia dalam sejarah perjuangan kemerdekaan.

Nasihin dalam buku Sarekat Islam Mencari Ideologi 1924-1945 menyebutkan bahwa penggunaan istilah “Nasional” merupakan tanda SI muncul sebagai sebuah perkumpulan bumiputera yang besar dan tersebar di seluruh Nusantara. “Kebesaran SI adalah wujud dari kebesaran identitas Islam yang ada di dalamya.” tulisnya.

Selama kongres ada 3 macam rapat. Pertama, rapat pendahuluan pada hari Sabtu, 17 Juni 1916 secara tertutup yang hanya dihadiri anggota pimpinan pusat CSI. Kedua, rapat terbuka  berlangsung hari Minggu, 18 Juni dan hari Senin, 19 Juni dengan mendengar pidato-pidato para pimpinan CSI kepada rakyat. Lalu ketiga, terdapat enam kali rapat yang dilakukan di Gedung Societeit Concordia (sekarang bernama Gedung Merdeka, Jalan Asia Afrika Bandung), yang dihadiri para utusan dan undangan.

Dari rangkaian acara tersebut yang terpenting dari hasil kongres ini adalah pertama kalinya bangsa terjajah di Hindia Belanda menyatakan tuntutan “Pemerintahan Sendiri”. Tuntutan ini diucapkan secara terbuka oleh Tjokroaminoto sendiri dalam pidatonya di Alun-alun Kota Bandung pada Minggu pagi 18 Juni itu.

Menurut penjelasan Roem, saat berlangsungnya kongres, Undang-undang Hindia Belanda (Het Regeeringsreglement voor Nederlandsch-Indie atau disingkat RR) pasal 111 masih melarang kegiatan berpolitik. Pada 1903, pasal 111 sedikit diperlemah sejak dibentuknya Dewan Kota yang boleh diisi pribumi. Orang Indonesia sudah boleh berpolitik hanya sebatas dewan kota. Bicara politik secara tanah air masih dilarang. “Meskipun begitu, pidato Tjokroaminoto adalah pidato politik yang tidak dapat disangsikan.” kata Roem.

Dapat dikatakan pidato Tjokroaminoto ini cukup berani. Namun, dalam pidatonya itu ia tak langsung secara radikal menentang ataupun melawan Pemerintah Hindia Belanda. Dalam salah satu ucapan pidatonya, ia berkata, “Kita mencintai Pemerintah yang melindungi kita.” Ucapannya ini adalah sebuah bahasa diplomasi karena sadar bahwa belum saatnya bertindak secara radikal dan revolusioner terhadap penjajah.

CSI melalui pidato Tjokroaminoto lebih memilih jalan evolusi dengan perjuangan bertahap sesuai konstitusi dan aturan tanpa harus ada pertumpahan darah. Karena itu, tuntutan “pemerintahan sendiri” dengan usul adanya Dewan Rakyat bagi kalangan pribumi untuk pemerintahan Hindia Belanda merupakan upaya bertahap mewujudkan upaya cita-cita kemerdekaan. Upaya itu berhasil ketika pada 1918 Pemerintah Hindia Belanda mengesahkan berdirinya Volksraad (Dewan Rakyat) sebagai saluran aspirasi rakyat. Mulai saat itu, Bangsa Indonesia memasuki fase perjuangan secara politik.

Penggal Pidato Tjokroaminoto
Pidato di bawah ini sebenarnya berbahasa melayu. Namun, dijadikan arsip oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk dilaporkan ke pemerintah Nederland ke bahasa Belanda. Pidato tersebut dipublikasi melalui dokumen yang berjudul De Volksraad en de staatkundige ontwikkeling van Nederlands-Indie, disusun oleh Dr. S.L. van der Wal terbitan J.B. Wolters, Groningen, tahun 1964. Berikut penggalan pidato Tjokroaminoto yang diterjemahkan oleh Mohammad Roem:


“Kita cinta bangsa sendiri dan dengan kekuatan ajaran agama kita, agama Islam, kita berusaha untuk mempersatukan seluruh bangsa kita, atau sebagian besar dari bangsa kita; Kita cinta tanah air, dimana kita dilahirkan; dan kita cinta pemerintah yang melindungi kita. Karena itu, kita tidak takut untuk minta perhatian atas segala sesuatu, yang kita anggap baik, dan menuntut apa saja, yang dapat memperbaiki bangsa kita, tanah air kita dan pemerintah kita.

Untuk mencapai tujuan kita, dan untuk memudahkan cara kerja kita agar rencana raksasa itu dapat dilaksanakan maka perlulah dan kita harap dengan sangat agar diadakan peraturan yang memberi kita penduduk bumiputera hak untuk ikut serta dalam mengadakan bermacam-macam peraturan yang sekarang sedang kita pikirkan. Tidak boleh terjadi lagi, bahwa dibuat perundang-undangan untuk kita bahwa kita diperintah tanpa kita, dan tanpa ikut serta dari kita.

Meskipun jiwa kita penuh dengan harapan dan keinginan yang besar, kita tidak pernah bermimpi tentang datangnya ratu adil, atau kejadian yang bukan-bukan, yang kernyataannya memang tidak akan terjadi. Tapi kita terus mengharapkan dengan ikhlas dan jujur akan datangnya status berdiri sendiri bagi Hindia Belanda, paling sedikit Dewan Jajahan, agar kita dapat ikut berbicara dalam urusan pemerintahan. Tuan-tuan jangan takut  bahwa kita dalam rapat ini berani mengucapkan ‘Pemerintahan Sendiri’. Dengan sendirinya kita tidak takut untuk memakai perkataan itu, karena ada undang-undang (wet) yang harus dibaca oleh tiap-tiap penduduk yang juga mempergunakan perkataan ‘pemerintahan sendiri’ yaitu Undang-undang 23 Juli 1903 tentang Desentralisasi dari Pemerintah Hinda Belanda, yang memuat keputusan Sri Ratu Wilhelmina di mana Sri Ratu memandang perlu agar untuk keresidenan atau bagian-bagian daerah membuka kemungkinan untuk mencapai pemerintahan sendiri.

Berhubung dengan sabda ratu di atas yang menyebabkan kita berani berbicara tentang pemerintahan sendiri, dan karena itu juga kita dapat memikirkan lebih lanjut bagaimana keinginan Ratu itu dapat selekas mungkin dan dengan sempurna dilaksanakan. Dalam permulaan Sri Ratu hanya mengharapkan tercapainya pemerintahan sendiri dari daerah-daerah atau sebagian dari daerah, akan tetapi kita yakin, bahwa dalam harapan Sri Ratu itu tersimpul maksud agar pada saatnya juga untuk seluruh Hindia Belanda mencapai status pemerintahan sendiri.

Tidak dapat diragu-ragukan bahwa ratu kita adalah bijaksana. Semakin lama semakin bertambah kesadaran orang, baik pun di Nederland maupun di Hindia bahwa pemerintahan sendiri adalah perlu. Lebih lama lebih dirasakan bahwa tidak patut lagi Hindia diperintah oleh Netherland, seperti tuan tanah mengurus persil-persilnya. Tidak patut lagi untuk memandang Hindia sebagai sapi perasan, yang hanya mendapat makan karena susunya. Tidak pantas lagi untuk memandang negeri ini sebagai tempat untuk didatangi dengan maksud mencari untung, dan sekarang juga sudah tidak patut lagi, bahwa penduduknya, terutama putera-buminya, tidak punya hak untuk ikut bicara dalam urusan pemerintahan yang mengatur nasibnya.

Segala puji kepada Allah Tuhan Maha Adil. Tuhan mendengar keinginan hamba-Nya. Ratu kita dan pemerintah bijaksana. Perubahan besar pasal 111 RR., yang melarang mengadakan rapat-rapat politik sudah dicabut, dan meskipun belum sama sekali dikubur, tapi tidak dijalankan lagi. Meskipun mengadakan kongres jatuh di bawa pasa 111 tersebut, kita berbesar hati bahwa pemerintah dan pemerintah daerah di Bandung memberi izin mengadakan rapat-rapat ini .......

Kita menyadari dan mengerti benar bahwa mengadakan pemerintahan sendiri adalah suatu hal yang sangat sulit, dan bagi kita hal itu laksana suatu impian. Akan tetapi bukan impian dalam waktu tidur, tapi harapan yang tertentu yang dapat dilaksanakan jika kita berusaha dengan segala kekuatan yang ada pada kita dan dengan memakai segala daya upaya melalui jalan yang benar dan menurut hukum.

Kita sama sekali tidak berteriak, “Persetan Pemerintah”. Kita malah berseru, “Dengan pemerintah, bersama dengan pemerintah dan untuk membantu pemerintah menuju ke arah yang benar”. Tujuan kita ialah bersatunya Hindia dan Netherland untuk menjadi warga-negara “Negara Hindia”, yang mempunyai pemerintahan sendiri.

Pada bagian penutup Tjokroaminoto berkata: 
Kongres yang terhormat, bangsaku dan kawan-kawan separtai yang saya cintai. Maka perlu sekali kita bekerja keras. Meskipun pemerintah yang maju mampu dan tentu bersedia mendidik anak buahnya dan membangkitkan energi anak buahnya, agar mereka semakin maju dalam kehidupannya, hak-hak dan kebebasan politik baru diberikan kepada satu rakyat kalau rakyat itu meminta sendiri dengan memaksa; jarang sekali terjadi bahwa hak dan kebebasan semacam itu diberikan sebagai hadiah oleh suatu pemerintah. Di bawah pemerintah yang tiranik dan dholim hak-hak dan kebebasan itu dicapai dengan revolusi. Sedang dari suatu pemerintah yang bijaksana dengan evolusi, gerakan yang patut. Kita berharap bahwa gerakan evolusi ini senantiasa akan berlangsung di bawah Sang Tiga Warna. Tapi bagaimanpun juga rakyat harus bekerja untuk menentukan nasibnya sendiri.

Oleh Fahmi Mudaliyanto
Benteng Palacio de La Aljafer a warisan peradaban Islam di Spanyol | sumber: gambar bebas google picture

Layaknya sebuah harta warisan seperti itu pula negeri-negeri muslim di Andalusia (Spanyol). Warisan walau satu sama lain telah mendapat bagian sesuai hukum. Namun tak jarang satu sama lain berselisih meskipun mereka masih saudara kandung. Tentang jumlah warisan yang tidak sama, tentang hak warisan yang tidak ditunaikan, tentang penyelewengan salah satu ahli waris atau bahkan pihak di luar ahli waris yang merasa berhak mendapat warisan pula. Seperti itu kondisi Andalusia pasca Bani Umaiyah runtuh.
Di negeri Andalusia masyhur 3 nama raja. Abdurrahman I (ad-Dakhil) sang pendiri kerajaan Islam pertama dari Bani Umaiyah. Abdurrahman II (al-Ausat) yang meneguhkan kerajaan dengan barisan pasukan dan bangsawan nan gagah namun adil. Abdurrahman III (an-Nashir) sang pembela dimana beliau berkuasa selama 50an tahun dalam keadaan aman. Segala pemberontakan dipadamkan, perpecahan disatukan kembali dan perselisihan dihapuskan.
Pada masa Abdurrahman III, banyak negeri Eropa takluk dan mengakui kekuasaannya. Takluknya itu membuat utusan-utusan dari negeri Eropa datang membayar Jizyah dan memberi hadiah setiap tahun. Baginda Abdurrahman III ini memiliki 11 keturunan. Setelah beliau mangkat, tiada satupun dari keturunannya silih berganti yang mampu mempertahankan kekuasaannya. Hingga pada masa kekuasaan Hisyam III, kerajaan ini tumbang kemudian lahirlah kerajaan-kerajaan Islam kecil.
Setidaknya ada 3 kerajaan Islam yang sangat berpengaruh di Andalusia. 2 kerajaan paling besar saling berselisih yaitu Amirul Jamaah al-Wazir Abu Muhammad Jahur ibn Muhammad beliau adalah raja di Cordova dan kerajaan dari Bani Umayyah dikepalai Hisyam ibn Muhammad al-Murtadlo yang digelari Orang Besar Cordova. 2 kerajaan ini berperang satu sama lain hingga seluruh keturunannya habis. Kerajaan Islam lain yang agak besar adalah dari bani 'Abbaad. Ketika 2 kerajaan Islam yang berperang itu sama-sama binasa maka Bani 'Abbaad ambil bagian untuk menguasai Andalusia. Namun keruntuhan 2 kerajaan Islam ini dimanfaatkan pula oleh negeri Eropa untuk meneguhkan kuasanya.
Al-Mu'tamad ibn 'Abbaad adalah salah seorang raja dari bani 'Abbaad. Melihat kondisi kerajaan yang tidak memungkinkan untuk menghadapi serangan Eropa, maka beliau meminta bantuan kerajaan Islam Murabitin untuk membantu memerangi Eropa. Murabitin ini adalah salah satu kerajaan Islam besar di Morocco, Afrika. Sebenarnya Wazir-wazir nya tidak setuju meminta bantuan kepada Murabitin karena di Eropa kerajaan itu dikenal suka menjarah dan menguasai bangsa lain.
Dengan jitu Al-Mu'tamad ibn 'Abbaad menjawab bantahan itu, "menjadi tawanan yang disuruh menggembala unta di Afrika lebih aku sukai daripada menjadi tawanan untuk menggembalakan babi di Spanyol". Artinya dia lebih suka jatuh dibawah kuasa Islam daripada dikuasai oleh orang kafir.
Bala bantuan dari Morocco akhirnya datang membantu untuk menghancurkan Eropa. Mereka berhasil menaklukkan Eropa kembali. Raja al-Mu'tamad sesuai ramalannya ditawan oleh pasukan Murabitin dan meninggal di Afrika dalam kemelaratan.
Pada masa itu berdiri pula 2 kerajaan kecil yaitu Balansia (Valensia) dan Marsiah (Marcia). Yang terpenting ketika itu ialah daulah Nashiriyah dari bani Al-Ahmar. Daulah inilah yang mendirikan istana Al-Hambra di kota Granada. Kerajaan ini berkuasa 1232- 1492. Pada masa inilah Granada bangkit menjadi pusat peradaban dan ilmu pengetahuan.
Semakin berjayanya kerajaan Islam di tanah Andalusia, terlihat dari catatan sejarah, nampaknya membuat neger-negeri Eropa terancam. Tersebutlah 2 kerajaan besar di Eropa yaitu Aragon dan Castilia. Guna menghadapi kerajaan Islam itu mereka menikahkah raja masing-masing raja Ferdinand dan Ratu Izabella. Setelah mereka menikah, disatukanlah 2 kerajaan ini menghadapi kerajaan Islam. Pada 1492 kerajaan Islam di Andalusia terpaksa mengaku takluk kepada Eropa dengan raja terakhir Abu 'Abdullah kemudian meninggalkan daratan Eropa.
Dengan takluknya kerajaan Islam ini bangsa Spanyol dan Portugis mendapat jalan mengembara ke negeri Timur. Di zaman pemerintahan raja 'suami-istri' itulah Columbus menemukan benua baru Amerika. 22 tahun setelahnya yakni pada 1511 M Alfonso d'Albuquerque kepala perang Portugis merampas dan menaklukkan negeri Malaka, kerajaan islam terbesar kedua ditanah air kita setelah Samudera Pasai.
Pasca runtuhnya kerajaan Islam di Andalusia ini orang Islam dipaksa murtad oleh Paus-paus dari Vatican. Yang tidak mau murtad maka akan diusir bahkan dibunuh.

*Maroji Sejarah Ummat Islam Prof HAMKA

Perform

video

Feature

Cat-5

Cat-6