![]() |
Jenderal Soedirma di Stasiun Manggarai Jakarta pada 11 November 1945. Sumber: Het Nationaal Archief - gahetna.nl |
Soedirman pernah berpesan saat acara pengajian Pemuda Muhammadiyah di Rawalo, Banyumas, jelang akhir 1930an, “Ada dua pilihan penting dalam kehidupan yang kita jalani saat ini,” ucapnya. Ustadz muda itu melanjutkan perkataannya, “Yang pertama `isy kariiman yakni hidup mulia dan yang kedua mut syahiidan yakni mati syahid. Kalian memilih yang mana?”
“Kalau memilih isy kariiman bagaimana syaratnya?” tanya Hardjomartono salah seorang peserta.
“Kamu harus selalu beribadah dan berjuang untuk agama Islam,” jawab Soedirman.
“Bagaimana kalau pilih mut syahiidan? tanya Hardjomartono lagi.
“Kamu harus berjuang melawan setiap bentuk kebatilan dan berjuang untuk memajukan Islam,” jawab Soedirman kemudian.
Hardjomartono kembali menegaskan dengan pertanyaan, “Jadi semua harus berjuang?”
Dengan tersenyum Soedirman menjelaskan, “Kedua pilihan itu seimbang. Kita akan mendapatkan semua kalau mau, sebab seseorang akan mendapatkan kemuliaan tentu harus berlaku sesuai dengan ajaran dan berjuang di jalan Islam.”
“Salah satu musuh penghalang saat ini adalah penjajahan. Karena itu agar pemuda mendapat kemuliaan maka harus bersiap untuk berjuang, siap syahid untuk mendapatkan kemerdekaan. Para pemuda, apalagi pemuda Muhammadiyah dan anggota HW (Hizboel Wathan), harus berani untuk jihad fisabillilah,” pesan Soedirman seperti yang ditulis Sadirman dalam buku Guru Bangsa Sebuah Biografi Jenderal Sudirman dari hasil wawancara dengan Hardjomartono pada 1997.
Pada 1943, Jepang menunjuk Soedirman menjadi Daidancho (Komandan Batalyon) Pembela Tanah Air (PETA) karena ketokohannya di masyarakat Banyumas. Mengikuti PETA kesempatan mendapat pelatihan militer di Bogor selama tiga bulan demi turut serta berkontribusi pada perjuangan kemerdekaan. Namun di sisi lain, ia tak rela meninggalkan rakyat Banyumas yang selama ini ia bina. Ia dihadapkan dua pilihan yang sama-sama berjuang di jalan Allah. Setelah melakukan shalat malam dan istikharah, pilihannya bulat menerima masuk menjadi anggota PETA. Benar saja, Allah Ta`ala memberikan jalan mulia pada pilihan ini.
Pada Konfrensi Besar Tentara Keamaan Rakyat (TKR) 12 November 1945, Soedirman berhasil terpilih menjadi Panglima Tertinggi TKR melalui pemungutan suara. Soedirman berhasil mengalahkan Oerip Soemohardjo, perwira KNIL yang lebih berpengalaman. Para pasukan bersenjata itu memilihnya karena melihat kewibawaan dan terkenal sebagai sosok muslim yang taat dari pada Oerip Soemohardjo mantan prajurit Hindia Belanda.
Keputusan memilih dua pilihan setelah shalat istikharah malam itu akhirnya berujung jabatan Jenderal Soedirman ketika TKR berubah menjadi TNI. Jihad fisabilillah menjadi landasannya saat memimpin TNI.