13 Jun 2016

Hari Merdeka di 9 Ramadhan

Oleh Ridwan Hd.Sebuah mural dukungan kemerdekaan ...

05 Jun 2016

Kisah Mohammad Roem antara Ru’yat dan Hisab

Oleh Ridwan Hd.Bedug sebagai alat komunikasi ibad...

02 Jun 2016

Apakah Baju Taqwa itu?

Oleh Salim A. FIllahIlustrasi: historia.idAlkisah...

31 May 2016

Lima Sila Hasil Kompromi

Oleh Ridwa Hd.Sebuah mural ekspresi kemerdekaan y...

13 Jun 2016

Hari Merdeka di 9 Ramadhan

Oleh Ridwan Hd.Sebuah mural dukungan kemerdekaan ...

05 Jun 2016

Kisah Mohammad Roem antara Ru’yat dan Hisab

Oleh Ridwan Hd.Bedug sebagai alat komunikasi ibad...

02 Jun 2016

Apakah Baju Taqwa itu?

Oleh Salim A. FIllahIlustrasi: historia.idAlkisah...

Cat-1

    Cat-2

      Cat-3

        Cat-4

          » » Kidung Utang Sultan

          Oleh Yusuf Maulana


          PAGI 29 Maret 1830, sarapan sang Sultan bersama Residen van Nes berasa istimewa. Sambil menikmati sajian yang ada, Sultan mendengarkan “kabar yang menggembirakan”. Menggembirakan bagi penguasa kolonial dan para pemangku Sultan yang masih terbilang bocah itu. Sekira tidak kurang 40 kilometer dari tempat mereka sarapan, sang pengumandang Perang Jawa, Pangeran Dipanegara, berhasil ditangkap di Magelang sehari sebelumnya lewat sebuah siasat culas bermuslihat. Ditangkapnya (atau mungkin lebih tepat diujar: ditipunya) Dipanegara memiliki dampak serius, yakni kian kokohlah kekuasaan raja muda itu: Sultan Hamengku Buwana V. Dialah penguasa Kasultanan Yogyakarta yang sejak 1828 sudah disokong kompeni Belanda.
          Para pejabat Belanda, khususnya para residen, tampaknya menyukai figur muda, lugu, dan—tentu saja—mudah dikendalikan. Perempuan ningrat bernama Raden Ajeng Handaliah, putri Pangeran Arya Suryengalaga (putra Hamengku Buwana III), sosok berikutnya yang dilirik van Nes. Lewat perantara dan izin van Nes, Handaliah yang masih berumur 13 tahun disunting Hamengku Buwana V, yang terbilang sepupu pertamanya. Handaliah, yang kemudian digelari Ratu Kedhaton, diajukan sebagai “pengganti” istri pertama Sultan yang diceraikan: Raden Ajeng Suradinah alias Ratu Kencana. Dari Handaliah kelak terlahir sosok anak lelaki yang sebetulnya begitu didamba sang Sultan—bernama Raden Mas Mohamad. Sayangnya, Mohamad gagal naik takhta meneruskan posisi sang ayahanda.
          Andai orang melihat rupa Ratu Kencana, pastilah bingung dengan putusan Sultan. Betapa tidak bingung, mengingat dalam laporan Belanda, istri pertama Hamengku Buwana V disebut-sebut sebagai “gadis tercantik di Yogyakarta”. Anehnya, Suradinah atau Ratu Kencana tidak pernah “disentuh” sang Sultan sejak malam pertama. Ada desas-desus yang beredar di luar tembok keraton. Sang istri dikabarkan cucu seorang budak. Beda kelas, apalagi dari kalangan pemberontak. Tidak hanya itu, nama Suradinah juga disebut-sebut memiliki hubungan dekat dengan Residen Yogyakarta kala itu, F.G. Valck. Sebuah kondisi yang tentunya amat memalukan kehormatan Sultan andaikata benar fakta ini. Ringkas cerita, sampai resmi diceraikan, pernikahan Suradinah dengan Sultan tidak membuahkan keturunan.
          Residen Valck sendiri di mata penerusnya, van Nes, sebagai sosok antagonis. Sebuah pandangan yang lazim di sesama pejabat kompeni. Pada saat itu, tulis Vincent J.H. Houben (2002) dalam edisi terjemah Keraton and Kompeni; Surakarta and Yogyakarta, 1830-1870, van Nes secara sistematis sibuk mendiskreditkan kebijakan Valck. Bahkan dia merendahkan Valck dengan menyebutnya sebagai penjahat “hanya semata-mata agar ia dapat memuaskan keinginan terpendamnya untuk berkuasa dan mencurahkan perhatiannya secara bebas kepada Raden Ayu, sang orang Jawa itu.” Raden Ayu yang dimaksud tidak lain Raden Ajeng Suradinah, istri sah Sultan Yogyakarta.
          Minuman keras, merujuk laporan van Nes, diwartakan begitu dekat dengan keseharian Sultan hingga ia pun mengalami kebosanan hidup. Tahu persis kualitas mahligai penguasa Yogyakarta, kelak saat dipilih sebagai residen, van Nes merestui pernikahan Sultan dengan Handaliah. Yang diperbuat van Nes hanya mengulang pendahulunya, yakni mengendalikan para penguasa Keraton Yogyakarta.
          Pada era Valck menjabat, ia memainkan peran begitu besar, terutama dalam rapat-rapat Dewan Kerajaan, lembaga pemerintahan yang mewakili Hamengku Buwana V selama masih kecil. Houben menuliskan pengaruh sang residen itu sebagai berikut (halaman 353-354):
          Masalah-masalah yang berhubungan dengan pengelolaan tanah, urusan-urusan negara, dan jabatan sang raja yang masih sangat muda itu nyatanya diputuskan sendiri oleh residen secara sepihak. Raden Tumenggung Gondokusuma, berkat Valck, diangkat sebagai pengawas tanah-tanah pajak. Pengelolaan tanah-tanah lungguh, dan penyewaannya kepada orang-orang asing dikenai peraturan-peraturan yang ketat. Pendapatan dan pengeluaran keraton diawasi dan dikaji secara menyeluruh oleh residen. Terakhir, residen mengatur perkawinan antara Hamengku Buwana V dan Raden Ajeng Suradinah meskipun banyak ditentang oleh kalangan dalam Keraton Yogya.
          Meski hanya memiliki alat-alat formal yang sangat terbatas untuk memainkan kekuasaannya melakukan itu, nyatanya Valck menempatkan wakil (pengampu) dan nayaka Yogya di bawah kendali hukum. Kerap tampak bahwa singgungan yang diucapkannya mengenai betapa tergantungnya keraton kepada kebaikan dan bantuan pemerintah Belanda cukup untuk menggantikan segala penentangan dan perlawanan.
          Pengaruh pihak asing (penjajah) lewat tangan Residen Valck tentu tidak tiba-tiba. Kebergantungan yang begitu dalam sebagaimana dituliskan Houben di di atas bisa dibayangkan sudah pada titik amat kritis. Patut diingat, situasi yang dicatat di atas ketika Keraton Yogyakarta relatif berkurang dari pengaruh kelompok pendukung Pangeran Dipanegara. Perang Jawa (1825-1830) belum lama usai, dan pengaruh kelompok dalam keraton yang kritis dan berjiwa oposan pada keberadaan Belanda nyaris tidak bersisa.
          Salah satu wujud “kebaikan dan bantuan” dari pemerintah Belanda kepada penguasa Yogyakarta adalah berupa sumbangan dan utang. Dalam laporan Koloniaal Verslag 1849 Lampiran G dan H, serta Koloniaal Verslag 1850 Lampiran D, yang dirujuk Houben, disebutkan bahwa tahun 1849-1850 pemerintah setiap tahunnya menghabiskan 13.000-17.000 gulden untuk memberikan pembayaran-pembayaran dan tunjangan-tunjangan kepada Sultan, yang harus dibayar kembali. “Bantuan” ini tampak logis kalau melihat belanja para bangsawan Keraton Yogyakarta yang pada 1833 menghabiskan 300.000 gulden! Sebuah situasi keuangan yang semakin tahun bukan membaik.
          Sebagai perbandingan, jumlah belanja bulanan penguasa Kasunanan Surakarta, yakni Paku Buwana VII, pada 1847 sebesar 15.929 gulden. Adapun besarnya bantuan pemerintah Belanda pada sang Sunan adalah 32.478 gulden setiap bulannya! Tentu saja, bantuan ini tidak cuma-cuma. Selain dikompensasi penguasaan tanah mancanagara, juga ada pembayaran utang. Dengan besarnya dana yang diterima setiap bulan, amat wajar bila Surakarta lebih dulu terjerat dalam pengaruh kompeni Belanda. Dan tetangganya, Yogyakarta, selepas Perang Jawa, kian lapang untuk diperlakukan serupa.
          Belanda tahu betul bagaimana menjerat para penguasa pribumi di Jawa. Lebih-lebih, para bangsawan sudah larut dalam hidup glamor. Kesukaan pada barang-barang impor disertai gaya hidup seturut para penjajahnya amat memprihatinkan. Sebuah sikap yang dicela Dipanegara sebelum memekikkan perlawanan akibat kekecewaannya dengan gaya hidup saudara-saudaranya di keraton. Dalam bahasa sinis J. Groneman (1883, I: 19-21), “makin tinggi gelar kebangsawanannya, maka main buruk keuangannya.” Selain gaya hidup, orang-orang berdarah biru ini tidak diperbolehkan bekerja tapi saat yang sama harus menghidupi semua kerabat dekatnya.
          Akibat gaya hidup juga, potensi rakyat terabaikan, dalam hal ini karya tangan mereka. Anton Haryono (2015) dalam disertasinya yang dibukukan, Mewarisi Tradisi Menemukan Solusi; Industri Rakyat Daerah Yogyakarta Masa Kolonial 1830-an – 1930-an), mencatat sektor-sektor yang terimbasi akibat kegemaran panutan mereka pada barang impor. Mulai dari tenun, batik, hingga kerajinan emas dan perak lambat laun tersingkirkan setelah para bangsawan istana memilih berduyun-duyun menyukai barang-barang impor.
          Dengan pemikiran matang dan hati bening, “kebaikan” yang diberikan pihak kolonial Belanda sesungguhnya sebuah putusan amat berat. Tapi kultur dan alam berpikir feodal yang menempatkan kuasa raja/sultan di atas hak-hak rakyatnya, dan perasaan istimewa pada kalangan bangsawan istana, mendorong “kebaikan” itu dilihat sebagai sebuah prestise. “Kebaikan” yang menipu tidak pernah dianggap, justru malah jadi bahan perebutan dan menagih. Padahal, risikonya amat besar. Ada banyak amanah yang dipertaruhkan. Tanah, harta kekayaan keraton, hingga kehormatan seolah siap digadaikan demi utang, yang salah satunya untuk keperluan konsumtif berfoya-foya.
          Sultan Hamengku Buwana V dengan kehormatan yang melekat dalam dirinya mestinya tidak perlu berulang. Cukup kiranya penduduk Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat yang merasakan kepemimpinan lemah dan tidak berintegritas lantaran pemunculan hingga jerat utang yang menyertainya. Sayangnya, kini tidak kurang 250 juta warga negeri bernama Republik Indonesia mendapati kenyataan tidak berbeda jauh dengan situasi Keraton Yogyakarta selesai Perang Jawa. Penguasa tanpa beban mencari utang ke sana kemari atas nama investasi. Mengundang pihak asing untuk memberikan utang, bahkan kepada lembaga keuangan di dalam negeri yang tidak membutuhkan utang sekalipun. Pembangunan dipermudah dengan slogan dan citra, tapi dengan bantuan asing.
          Celakanya, pemberi utang yang dulu dominan bermata biru, masa sekarang melejitkan kalangan bermata (maaf) sipit. Tanpa rasa malu negeri seberang itu dijadikan pemain tunggal dan dominan selaku kreditor. Sekian proyek penuh gengsi dipertaruhkan tanpa pertimbangan dan penelitian matang. Semua seolah mesti terjadi. Sama halnya dengan tabiat seorang Sultan Hamengku Buwana V yang lemah dan sejak awal memang di bawah asuhan para pamanda yang berhati tak elok. Terlampau meroket sejak dini bukan sebagai bagian dari pengaderan memikat selaku negarawan tangguh. Dulu, hadirkan Hamengku Buwana V; kini, Presiden sejuta pesona hasil gadang-gadang media besar dan jutaan relawan berpamrih.
          Maka, apalagi yang bisa diharapkan dari sebuah kekuasaan yang hadir rapuh dengan foya-foya citra dan topangan utang ketika ada provokasi di lautan berdaulat negeri sendiri pun dianggap aman sentosa belaka? Jangan tanya kamus cemburu pada mereka yang hidupnya dicekik utang oleh pihak penyerang. Insiden Laut Cina Selatan belakangan ini jadi area penumpahan wibawa kekuasaan di depan mata yang memalukan. Selaksa Raja Yogya yang mengasihani diri sendiri akibat tidak bisa apa-apa; melankolis seakan tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi kepiluan yang menyayat hati tapi apa ada diri pun telanjur hampa.
          Utang menjerat terlampau dalam hingga kita saksikan hanya peremahan kenyataan yang ada. Sama halnya dengan cerita dari Yogyakarta—juga Surakarta. Vorstenlanden, daerah kerajaan pecahan Dinasti Mataram Islam pasca Perjanjian Giyanti 1755 ini pernah hadirkan sosok-sosok lemah tak berdaya sama sekali dengan bujuk rayu orang-orang berkemajuan dengan sekian pesona yang meluluhkan hati. Hilangnya sosok semacam Pangeran Dipanegara di lingkaran istana, hanya menguatkan sosok-sosok pintar bermain kata tapi korup, penggila citra dan kemewahan, juga tak peduli dengan utang dari bangsa asing. Sementara di saat yang sama rakyat kian sengsara, tanah-tanah warisan leluhur terus digadaikan dan diberikan ke penjajah, mereka abai dan terus menikmati surga dunia.
          Terjadilah tanah nagara di kedua keraton ini terus menyusut hingga yang cakupannya nyaris serupa menjelang Republik Indonesia merdeka. Daerah-daerah yang pernah jadi kekuasaan jatuh bukan semata karena kalah perang, namun yang ironis adalah diberikan lantaran menyerah kalah dalam meja pembayaran utang dan raibnya moral. Tampaknya para penguasa yang sejatinya para khalifah itu lupa filosofi kekuasaan yang dilekatkan pada gelar secara turun-temurun. Misalkan mereka ingat maknanya, tentu sang junjungan mulia, Kanjeng Nabi Muhammad tidak tersingkir dalam ingatan.
          “Barang siapa meminjam harta manusia dan dia ingin membayarnya, maka Allah akan membayarkannya. Barang siapa yang meminjamnya dan dia tidak ingin membayarnya, maka Allah akan menghilangkan harta tersebut darinya,” sabda Kanjeng Nabi sebagaimana tertulis dalam riwayat Imam Bukhari—dinukil dari laman Rumaysho. Tersebab utang (salah satunya) yang disepelekan, harta yang dimiliki kedua keraton menyusut. Andaikan tanah saja, tidak mengapa; bagaimana dengan susutnya moral dan nilai agama?
          Hari ini, kita semua berharap, penguasa mau melek dan kembali ke jati diri bangsa yang (semoga) dicintainya tulus. Mau sejenak merenung, memikirkan pengalaman silam. Tentang pemberian bangsa asing yang tidak pernah sepi dari pretensi. Tentang kebaikan bangsa asing yang berpamrih untuk menguasai. Ribuan bisikan pendukung semestinya bukan jadi dalil untuk menimbang bijak sebuah putusan demi hadirkan bangsa sebenar bangsa. Bukan bangsa dalam imajinasi dan kebesaran diri dan pengagumnya belaka, yang sesungguhnya fatamorgana. Di lautan berbatasan negeri jiran, meski tiada penghuni dari anak negeri sendiri, pantang surut untuk melayangkan sebagai hadiah hanya karena pihak yang agresif merongrong tidak lain juragan pemberi utang besar.

          ______
          *Pernah terbit untuk rubrik Perspektif Islampos.com
          «
          Next
          Posting Lebih Baru
          »
          Previous
          Posting Lama

          About the Author Admin

          This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

            Perform