Posted by:
Admin
Posted date:
07.29.00
/
Oleh Ridwan Hd.
 |
Sjafruddin Prawiranegara, foto sekitar 1946-1947 Dari gahetna.nl |
Di awal September 1945 terjadi diskusi hangat antara utusan Komie Nasional Indonesia (KNI) Keresidenan Priangan dengan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Mereka mengusulkan kepada Wakil Presiden agar negara yang baru merdeka ini bisa menerbitkan mata uangnya sendiri. Sjafruddin Prawiranegara, sebagai salah satu anggota utusan KNI Keresidenan Priangan yang dianggap paling menguasai masalah uang, mencoba meyakinkan Hatta tentang pentingnya pembuatan uang.
“Apa perlunya mengeluarkan uang baru?” tanya Hatta yang masih agak keberatan dengan usul tersebut. “Oleh dunia internasional kita dapat dituduh sebagai pemalsu uang dan andaikata kita ditangkap Belanda, kita aka dihukum sebagaimana demikian.” sambungnya.
“Kalau pemerintah Republik, termasuk Bung Hatta, memang mengalami nasib sial dan ditangkap Belanda, anggota-anggotanya bukan akan dihukum sebagai pemalsu uang, melainkan juga karena telah melakukan suatu kejahatan yang oleh Belanda akan dipandang lebih berat, yaitu memproklamasikan kemerdekaan yang merupakan suatu pemberontkan terhadap kekuasaan Belanda yang sah.” tanggap Sjafruddin.
“Baiklah,” tanggap Hatta, “Apakah pada taraf perjuangan sekarang perlu dikeluarkan uang baru?” kembali lagi Hatta bertanya untuk mencari jawaban yang meyakinkan pentingnya usul ini. Kemudian Hatta menjelaskan, bahwa baginya cukup melanjutkan pemakaian uang yang dicetak Jepang tanpa membuang-buang waktu dan tenaga untuk mengeluarkan uang baru. Lalu ia mencontohkan pemerintahan Bolsyewik di Rusia. Ketika pemerintahan Tsar berhasil digulingkan, pemerintah komunis tidak mengeluarkan uang baru, tetapi tetap memakai uang lama.
Contoh yang dijelaskan Hatta tersebut bisa dibantah Sjafruddin. Apa yang terjadi di Rusia tidak berlaku buat kasus yang terjadi di Indonesia. Menurutnya, Pemerintahan Bolsyewik tidak mendirikan negara baru, hanya pemerintahan yang ditukar. Berbeda dengan Indonesia yang memiliki perubahan status dari negara jajahan menjadi negara merdeka. “Justru karena itu perlu diadakan uang baru sebagai salah satu atribut dari kemerdekaan negara kita!” ucap Sjafruddin terus meyakinkan seperti yang dituliskan Aji Rosidi dalam buku Sjafruddin Prawiranegara Lebih Takut Kepada Allah Swt.
Usaha meyakinkan pemerintah yang dilakukan Sjafruddin atas pentingnya memiliki mata uang sendiri akhrinya dapat diterima. Namun, situasi negara yang masih genting belum bisa mewujudkan gagasan mata uang. Kembali hadirnya Belanda melalui pasukan NICA dan pergolakan politik yang terjadi dalam tubuh pemerintahan Republik, sangat menguras konsentrasi.
Meski begitu, usaha untuk terlaksananya gagasan ini sudah mulai diseriusi sejak Oktober 1945. Tepatnya 24 Oktober, Menteri Keuangan Mr. A. A. Maramis membentuk sebuah tim untuk mengkaji perusahaan-perusahaan percetakan mana saja yang bisa dipercaya mencetak uang. Kemudian pada 7 November 1945, Mentri Keuangan membentuk suatu panitia yang dinamakan Panitia Penyelenggara Pencetakan Uang Kertas Republik Indoesia. Tugasnya adalah menyelenggarakan segala sesuatu yang berkaitan dengan pencetakan uang. Kemudian dibentuk juga panitia yang nantinya akan ditugaskan untuk pengedaran dan penyimpanan.
Dalam proses perencanaan pencetakan tersebut Sjafruddin yang kala itu juga masih menjabat sebagai pegawai Kementrian Keuangan (Sebelumnya di masa Hindia Belanda ia adalah Pegawai Pajak), selain juga sebagai pencetus, turut serta dalam usaha pelaksanaannya. Terjadinya beberapa kali pergantian Mentri Keuangan dan situasi perang yang tak menentu membuat rencana ini berjalan lambat.
Sjafruddin segera memutuskan kesediannya ketika ditawari menjadi Mentri Muda Keuangan pada Kabinet Sjahrir II sebagai wakil dari Masyumi. Ia ingin segera menyaksikan kelahiran uang baru Republik Indonesia. Dia yakin, jika mendapat kedudukan pada posisi tersebut rencana yang digagasnya bisa segera terlaksana. Gagasan inilah yang menjadi keyaninan Sjafruddin bahwa mata uang merupakan sebuah eksistensi negara berdaulat. Tidak seperti mata uang dari Belanda dan Jepang, yang kala itu masih beredar, sebagai lambang pemerintahan kolonial.
 |
Mata uang ORI 1 Rupiah |
Pada Kabinet Sjahrir III, Sjafruddin diangkat menjadi Mentri Keuangan. Di masanya ini, setelah melalui proses yang panjang dan hambatan yang begitu banyak, mata uang yang dinamankan Oeang Republik Indonesia (ORI) keluar secara resmi pada 29 – 30 Oktober 1946. Sejak saat itu, secara de facto ORI menadi alat penukar dan pembayaran yang sah di wilayah kekuasaan Republik Indonesia yang baru meliputi Jawa, Madura, dan Sumatera.
Pengeluaran uang ORI didasarkan pada dua Undang-undang. Pertama, Undang-undang No. 17/1946 yang menyatakan akan dikeluarkan uang ORI bersama penjelasan bentuk, warna, dan nilai uang yang akan dikeluarkan. Kedua, Undang-undang No. 19/1946 yang menjelaskan dasar penetapan nilai intrisik ORI, waktu peredaran, cara pembayaran hutang ketika ORI telah beredar, dan pengaturan harga-harga maksimal. ORI sendiri dipatok oleh pemerintah dengan nilai 10 ORI sama dengan emas murni seberat 5 gram.
Dalam menerbitkan ORI, pemerintah tidak mengeluarkan begitu saja. Mulai bulan Juni 1946, secara perlahan pemerintah sudah menghentikan peredaran Gulden dari De Javasche Bank (uang Belanda) dan Gulden dari De Japansche regering (uang Jepang) dengan cara mengeluarkan aturan pembatasan besar maksimal nilai tunai mata uang asing tersebut yang boleh dipegang oleh masyarakat. Kemudian jika seseorang atau perusahaan memiliki uang tunai yang melebihi batas maksimal nilai yang boleh dipegang, diwajibkan untuk disimpan di bank-bank yang ditunjuk oleh Pemerintah. Setelah ORI terbit, masyarakat bisa menarik uang baru sesuai kurs uang lama yang telah ditetapkan.
Ketika masuk jatuh tempo pada 29-30 Oktober 1946, uang ORI diedarkan secara serentak ke wilayah Jawa-Madura. Pengedaaran ORI secara serentak sudah dilakukan kordinasi dengan pejabat daerah setempat, sehingga distribusi uang dengan mudah bisa merata melalui pejabat daerah. Agar masyarakat tidak dirugikan, Pemerintah menempuh kebijaksanaan dengan mengadakan pembagian uang baru secara cuma-cuma kepada masyarakat secara merata sebagai imbalan dari uang lama yang tidak berlaku lagi. Tiap-tiap orang mendapat pembagian senilai 1 ORI dan tiga sen. Kebijakan ini atas pertimbangan bahwa setiap orang masih memiliki uang tunai sebesar 50 Gulden De Japansche regering (uang Jepang).
Pemerintah dengan Sjafruddin sebagai Mentri Keuangan juga telah menyadari bawah peralihan mata uang ini akan mengguncangkan kehidupan masyarakat. Pemerintah sudah melakukan antisipasi, yaitu antisipasi terhadap praktek-praktek spekulan yang mencari keuntungan dari permainan kurs mata uang, dan antisipasi terhadap bahaya inflasi. Langkah awal untuk mengantisipasi itu, pada malam 28 Oktober 1946, Mentri Keuangan Sjafruddin berpidato melalui Radio Republik Indonesia (RRI) untuk menjelaskan tentang ORI dan tindakan-tindakan yang harus dilakukan masyarakat untuk menghindari keguncangan ekonomi yang tidak ingin diharapkan.
Dalam pidatonya Sjafruddin menekankan bahwa keluarnya ORI bukan berarti permasalahan dan penderitaan ekonomi berhenti dan menjadi makmur. Uang hanyalah sebagai alat penukar, pembayaran dan pengukur harga, sehingga memudahkan orang untuk berdagang. Uang tak secara langsung bisa menambah jumlah barang dan disertai kemakmuran. Bagi Sjafruddin, kemakmuran bisa teratasi dengan memperbanyak produksi. Maka, dengan dibagikan uang baru kepada rakyat Republik Indonesia, bukan berarti harus hidup bersenang-senang menikmati uang yang dipegang. Jika rakyat tak bisa menahan konsumsinya tanpa diimbangi produksi yang meningkat, masalah inflasi bisa terjadi.
“Berhematlah sehemat-hematnya, jangan membeli apabila tak perlu sekali.” Ucap Sjafruddin dalam pidatonya. Anjuran ini sebagai upaya pemerintah agar masyarakat tidak konsumtif. Jika masyarakat tida bisa mengotrol konsumsinya atau dengan kata lain permintaan meningkat tanpa diimbangi dengan meningkatnya produksi, dapat menyebabkan harga-harga melambung.
Anjuran Sjafruddin tersebut juga diikuti dengan anjuran kepada para pedagang maupun pengusaha agar, “janganlah menjual banyak-banyak. Seorang pembeli dibatasi pembeliannya, tetapi sekali-kali jangan menutup toko atau warungnya.” Inilah anjuran yang ditujukan kepada pihak pedagang untuk menekan angka konsumsi rakyat.
Anjuran-anjuran yang dijelaskan Sjafruddin menujukan bukti bahwa kesejahteraan bukan terlihat dari banyaknya uang yang dimiliki karena bisa mencetak uang sendiri, tetapi dari usaha dan kerja keras dengan meningkatkan produksi. ORI lahir hanya sebagai alat tujuan perjuangan, bukan untuk menumpuk kekayaan negara.
Sebagai alat tujuan perjuangan, lahirnya ORI termasuk strategi efektif mengatasi hiperinflasi yang terjadi pada GuldenDe Japansche regering pada saat itu. Ekonomi negara sempat jatuh gara-gara pihak Belanda berhasil merampas cadangan uang Gulden De Japansche regering, yang kemudian dihamburkan kepada masyarakat. Kelakukan Belanda ini memberikan dampak inflasi karena mata uang ini yang paling banyak digunakan oleh rakyat pasca sepeninggalan Jepang. Harga-harga pun meningkat drastis. Indonesia menderita kerugian yang sangat besar. Inilah salah satu cara Belanda menghancurkan ekonomi Indonesia. Dengan hadirnya ORI, bersama anjuran Sjafruddin, inflasi perlahan teratasi. Kelak ORI menjadi cikal bakal mata uang Rupiah dan Sjafruddin menjadi Gubernur Bank Indonesia pertama yang diangkat pada 1953.